LAKE CHAPTER 55 – SOS 10: TURNING POINT

Lake
Penulis: Mie Rebus
Chapter 55: S.O.S 10 (Siege On Solus, Turning Point)
“Awalnya gw gak percaya pas Gabber bilang lu susah ditumbangkan. Itu terdengar gak masuk akal, gimana mungkin seorang yang lemah susah ditumbangkan? Tapi sekarang … gw tau kenapa dia bisa bilang begitu,” optik merah dari kawan Gabber mengunci gw.
“Keren, kan?” balas gw sekenanya. Padahal gak nyangka juga bakal jadi begini.
Entah apa yang udah dilakukan Faranell, tapi gw tau pasti, dia yang udah menolong saat benar-benar dibutuhkan. Sekelebat gambaran perempuan berambut ungu itulah yang muncul pas kesadaran gw mulai digerogoti sosok itu. Menekan kegilaan diri, cegah dia meluap ga terkendali.
Si Mercenary jalan mendekat, “… Bilang ‘semenit cukup’ buat lawan kami, bukannya agak keterlaluan?”
Aura ungu tipis terus merembes keluar kali ini gak cuma dari satu tangan, tapi juga keduanya. Tanpa aba-aba, gw berakselerasi ke sisi Si Zirah merah.
Pastikan jarak kami teramat dekat supaya omongan pelan gw bisa terdengar, “Kita liat aja,” kedua tangan yang pegang pedang langsung lancarkan tusukan bertubi-tubi pada si Mecenary Merah.
Dia kaget bukan main, optiknya gak kuasa ikuti pergerakan gw dan gak sempat antisipasi. Tusukan yang kelewat banyak dan cepat seolah melebur warna merah-biru jadi satu, berhasil mendarat semua di tubuh besar Si Mercenary. Gak kayak sebelumnya, sekarang serangan pedang kembar gw sanggup menembus pertahanan tebal Accretia itu.
Tusukan beruntun barusan bikin percikan listrik keluar dari lengan kirinya. Robot merah ini langsung coba hantamkan perisai ke tubuh gw, tapi tentu ga akan gw biarkan niatnya terjadi. Mana mungkin gerakannya bakal kena kalo di mata gw keliatan begitu lambat, kan?
Gw ambil beberapa langkah ke belakang pas perisai itu terangkat, akibatnya bagian depan Si Accretia justru terbuka lebar. Enggan buang peluang, gw langsung berakselerasi lagi sambil ancang-ancang menebas.
Ayunan kilat dua pedang pada sudut lengkung mengiris armor merah. Awalnya gak terjadi apapun, namun sedetik kemudian, sayatan cukup dalam baru muncul dari dada robot tersebut diiringi percikan listrik kembali terpancar.
“Wow …” Si Mercenary sempat terhuyung sebelum berlutut seraya pegang dadanya yang menganga.
Dari belakang Si Zirah merah, Gabber manpaatkan bahu kawannya sebagai pijakan untuk lompat begitu tinggi. Spadona cyan andalan tergenggam mantap pake dua tangan. Punisher itu berakrobat di udara, salto ke depan sekali dan hujamkan senjatanya penuh napsu membara.
Sigap, gw langsung lompat ke samping buat menghindar. Dentuman keras terdengar di tempat robot itu mendarat. Gak lama dari balik tanah dan asap berhamburan, Gabber seketika menerjang keluar sambil todongkan spadona ke depan.
Kecepatannya meningkat lagi. Hmm, gak nyangka dia bakal cepat beradaptasi dengan kecepatan gw.
Dengan dua pedang di tangan, gw berani ubah arah tusukan spadona itu pake sentuhan ringan di sisi lebar senjata tersebut. Spadona milik Accretia itu terus lewat di sisi kanan tanpa berkurang kecepatannya, sedangkan gw perkuat pijakan supaya sama sekali gak beranjak dari titik berdiri.
Tangan gw todongkan satu pedang ke arah dada Gabber yang lagi mendekat cepat, tepat di titik yang sempat tergores teknik berputar. Ga kayak tadi, sekarang senjata gw berhasil tembus dada sampe punggungnya akibat momentum gerak Si Punisher sendiri.
Masih belum! Pedang di tangan satunya langsung gw benamkan dalam-dalam ke bahu Si Accretia, dan tekan ke bawah sekuat tenaga. Akhirnya … kepala Si Punisher bertemu permukaan tanah untuk pertama kali selama pertarungan kami.
Yeah! Gw berhasil bikin dia makan tanah!
“Tetap di bawah!” kata gw lantang.
Tapi dia gak biarkan diri terjerembab lama. Robot gedek itu berontak mendadak pake tenaga yang luar biasa. Menyentak tangan kiri gw, dan bikin pegangan di bahunya lepas. Sialan! Satu pedang masih tersangkut di badan Gabber. Pendar Twin Razer Blade langsung padam karena gak digenggam bersamaan.
“Lu yang harusnya di bawah, cecunguk berdaging!” Balasnya sembari cabut pedang yang tersangkut di bahunya, lalu dia lempar balik ke gw sekuat-kuatnya, “ga ada yang lebih kuat dari kami!” perkataan yang terlontar penuh nada ga terima, “ga ada yang lebih superior dari logika kami, Kekaisaran!”
Sebilah pedang kusam itu meluncur tajam. Langsung gw tangkap gagangnya tanpa kesulitan berarti. Kedua pedang di tangan kembali pamerkan merah- biru.
Robot berzirah biru navy itu kembali berlari sembari lancarkan kombo tiga tebasan.
“Ada,” tubuh gw mengelak lincah dari tiga tebasan Si Punisher dan langsung lancarkan satu tebasan berputar ke lehernya, “gw!”
Gegara pergelangan tangan masih bisa digenggam Si Kaleng rongsok di detik terakhir, Twin Razer Blade batal menebas habis leher logamnya, cuma mengiris beberapa inci aja.
Percikan listrik dan kembang api kembali memancar. Semacam cairan minyak mulai mengalir dari irisan itu.
Genggaman Gabber makin kuat, dia bangkit terus berputar-putar. Ugh … bikin gw mual dan pusing karena ikut kebawa. Abis memutar beberapa kali, dia hempaskan tubuh mungil gw jauh-jauh, “HAH, JANGAN BERCANDA!”
Entah udah berapa kali tanah jadi bantalan mendarat hari ini. Tetap aja, satu hal yang terpatri di pikiran; masih gak terasa apa-apa. Gw tau, gw sering bilang benci rasa sakit … tapi kalo tetiba kemampuan reseptor nyeri hilang begini, tentu bakal jadi tanda tanya.
“Akhirnya lu tunjukkan diri lu yang sebenarnya, hah!?” Gabber berkata, “dulu lu pernah bilang, ‘Ga peduli siapa yang lebih kuat,’ tapi nyatanya, pernyataan lu tadi begitu arogan!”
“Ngaca dong!” balas gw singkat.
Masih ga nyadar diri juga apa ya ini kaleng? Kan dia duluan yang mulai.
“Apa lu pikir cuma karena serangan jadi lebih kuat sedikit, lu bisa tumbangkan Prajurit Kekaisaran?”
“Pulverize him (Lumat dia),“bisikan dia terdengar lagi,
“He’s always looking down on us, mocking us, make us feel like an insect. But now … he fears us (Dia selalu remehkan kita, mengejek kita, bikin kita merasa bak serangga. Tapi sekarang … dia takut pada kita).“
“You have the power to do so (kamu punya kekuatan untuk melakukannya).“
Gw kembali betulkan kuda-kuda di hadapannya, “Mau gw jawab, atau cari tau sendiri?”
“Bajingan tengik!” Umpat Gabber seraya menerjang maju.
“Sini! Segitu doang kemampuan lu!?” balas gw gak kalah keras dan songong, makin panaskan suasana.
Gw sempat terkecoh gegara dia kasih gerakan tipuan pake tangan yang pegang spadona, namun ternyata, tangan kirinya lah yang sukses menyengkram leher gw dengan amat bertenaga.
“Cebol!” suara Faranell yang berseru terdengar saat Gabber aktifkan boosternya lalu lompat begitu tinggi dan bawa gw melayang di udara. Napas jadi agak sulit keluar-masuk begitu kaki ga lagi menapak.
Ugh, apa-apaan robot ini? Apa dia mau langsung nyulik tanpa selesaikan pertarungan? Hah, licik juga.
Tapi ternyata pemikiran itu salah. Pas sampe di titik tertinggi lompatannya, ada kali 15 meter di atas tanah, Gabber gak segan lempar badan gw balik ke bawah! Brengsek! Sangking kuat lemparan itu, kawah dangkal langsung tercipta begitu punggung gw membentur daratan, bikin tetes darah lagi-lagi keluar dari sela gigi. Bayangkan, gw sampe bisa dengar bunyi retakan tulang punggung sendiri.
Kampret juga dia. Berani-beraninya chokeslam gw seenak jidat.
“MATI!” Serunya. Gabber terjun bebas, daya booster makin menambah kecepatan laju. Mata lancip spadona tertuju mantap pada target yang lagi enak telentang.
Perlahan gw kembali berdiri, “Gw bakal kalahkan lu, gw bakal bikin lu bertekuk lutut …” belum. Bukan gw yang bakal mati! “GW BAKAL PRETELIN TIAP SUKU CADANG SAMPE LU GAK BISA DISERVIS LAGI, RONGSOKAN BANGSAT!”
Kedua pedang di tangan menyabet kaki kiri Gabber sembari ambil selangkah ke samping guna hindari tusukannya. Abis itu gw lompat dan layangkan satu tendangan akrobatik tepat ke kepala Si Punisher, tapi sayang sebelah tangannya masih sanggup menghalau.
Kaki gw bertemu tangan Gabber dalam satu peraduan yang gak terkira. Terdengar suara retakan metal dari tangan robot itu. Masih belum puas, gw tinju mukanya tanpa ampun ke bawah, benamkan kepala besi tersebut kedua kalinya ke tanah.
“Gabbe, udah bukan waktunya main-main!” Si Zirah merah kasih peringatan seraya hendak bantu, “sebentar lagi tempat ini akan kejatuhan nuklir!”
Tapi ditolak mentah-mentah, “Mundur, Ironall! Udah gw bilang, dia lawan gw!”
Gw berlari untuk kasih serangan lanjutan, namun entah kenapa terasa sekelebat ngilu dari tulang punggung dan kaki kanan yang tadi gw pake buat menendang! Argh! Kenapa reseptor nyeri harus kembali berfungsi di saat kayak gini!? Cuma sesaat emang, abis itu hilang lagi. Tapi walau sesaat, sakitnya luar biasa. Gw terjatuh karena kaget akan rasanya.
Biarpun badan tersungkur, tatapan mata ungu penuh kegeraman masih gak lepas-lepas dari sosok Gabber yang juga belum berdiri.
“Take it all, this power. Destroy him. (Ambil semuanya, kekuatan ini. Hancurkan dia)”
Sementara itu, Faranell terhenyak liat gelagat gw mulai berubah lagi. Dia berteriak, “Lake! Kamu gak boleh bertempur dengan amarah!”
“Tutup mulut kotor lu! Liatlah, gw yang bakal bunuh keparat ini!” entah setan apa yang merasuki kepala, gw jadi kasar padanya.
Kami sama-sama bangkit. Kaki Gabber yang tadi tersayat pedang gw, tetiba putus pas dia menerjang. Tapi kami masih sempat saling meninju dengan segenap tenaga tersisa. Pertukaran hantaman itu tepat di wajah, bikin kami kembali tersungkur. Mulut gw langsung semburkan lebih banyak darah pas kena hajar kepalan tangan Accetia itu.
“Sesuatu memakan hatimu!” Teriak Faranell penuh kecemasan. Mata kuningnya terlihat hampir nangis, “Jangan sampe kamu termakan kegilaan kalo kamu masih mau kembali seperti semula! Dia kasih kamu kekuatan sebagai pertukaran atas kendali diri! … Karena kamu benar-benar berharap kehancuran kali ini … bisa-bisa perubahannya jadi permanen. Bisa jadi … pecahan kesadaranmu yang dia makan udah gak bisa kembali.”
Tangan gw mengepal tanah, masih dengan keadaan berdarah-darah. Bibir cuma bisa tertutup dengar ocehannya. Sedikit banyak, gw paham apa yang dia bilang. Sebenarnya bukan kehilangan visi diri sendiri gegara dibalut kemarahan, cuman gw merasa sebagian diri yang lain perlahan memudar.
Tapi … fakta kalo gw gak bisa kalahkan Gabber gak bisa ditampik. Biarpun udah sampe begini, keparat itu belum juga tumbang! Lebih … gw butuh lebih dari ini!
“Shite! Kita harus mundur dari area ini, Gabbe! Selesaikan persaingan lu lain kali!” Namun tau-tau Si Zirah merah yang dipanggil Ironall langsung memapah Gabber yang udah kehilangan sebelah kaki. Mereka ga pedulikan kami lagi. Mungkin karena pertarungan ini makan waktu lebih dari yang seharusnya, Si Zirah merah itu jadi panik sendiri.
Apa? … Gitu doang!? Mereka bakal pergi setelah bikin gw babak belur, dan tinggalkan gw buat kena nuke!? Cakep banget kelakuan.
“… Tunggu,” ucap Gabber pada kawannya. Langkah Ironall terhenti seketika, dan Gabber berusaha keras hadapkan tubuh kemari walau tetap dipapah. Dia angkat telunjuknya tepat ke gw, “jangan berani lu mati di pertempuran ini, Liliput. Kalo ada yang bakal cabut nyawa lu, gw lah orangnya.”
Hah. Padahal dia yang mau kabur tapi dia juga yang banyak gaya, “Ga bakal segampang lu bicara, Karatan,” balas gw seraya acungkan jempol ke bawah, sementara darah terus menetes dari ujungnya.
“… Fuck you,” responnya jengkel.
Maka berlalulah mereka. Faranell lari dekati gw dengan terengah. Liat keadaan yang gak bisa dibilang baik, dia lingkarkan lengan di pinggang gw supaya tetap tegak berdiri. Mata kuningnya tunjukkan penuh keprihatinan. Agak berkaca-kaca, tapi tetap berusaha keliatan tegar.
“Kenapa?” tanya gw ketika balas tatapannya, “gw gak berubah.”
“Hampir …” jawabnya lugas, “… hampir,” dia tundukkan wajah kali ini.
Kami mulai jalan, berusaha jauhi area ini secepat yang kami bisa di tengah pertempuran yang sekarang seolah terhenti sejenak karena kedua belah pihak sama-sama gak pengen kena nuklir. Masih tersisa segelintir Prajurit Federasi di sekitar kami. Mereka bahkan sibuk selamatkan diri sampe gak sadar ada Corite yang memapah Bellatean di sini.
Faranell gak berkata apa-apa setelah beberapa saat. Gw coba memecah keheningan gegara liat kemurungan melanda, “… Lu bilang ‘termakan kegilaan‘, apa maksud lu?”
Dia memandang mata gw lagi, “Aku terjun ke dalam dirimu. Dan … aku liat semua bagian dirimu sampai yang tergelap sekalipun. Juga … apa yang telah kamu lalui.”
“O-oh … lu … tau semua?” kejadian itu juga … ?
Faranell kasih anggukan kecil.
Ahh, ternyata benar, dia emang secara harfiah masuk ke diri gw. Pantas kehadirannya begitu terasa pas gw nyaris kehilangan kesadaran.
“Kamu punya darah Corite,” deng! Bahkan dia tau fakta yang gak pernah gw umbar ke siapapun kecuali Elka, “Ada satu pecahan kesadaran, bagian Corite darimu yang punya sepercik Force kegelapan. Dia berada di lubuk hati. Dialah yang suaranya kerap kamu dengar, juga, yang kasih kamu kekuatan. Selama ini kamu menguncinya di lubuk hati, tapi kunci itu mulai terbuka saat kamu putus asa.”
“Jadi … itu sebabnya aura di tangan gw sama kayak lu? Ini … Force kegelapan?”
Lagi-lagi, perempuan berambut ungu itu mengangguk, “Itulah yang memberimu kemampuan menembus armor dan turunkan kapabilitas pertahanan mereka.”
“… Wow … keren juga.”
“Ya, tapi harga yang harus dibayar gak murah,” Faranell kembali tertunduk lesu. Hmm, kenapa ini anak? Gelagatnya gak berenergi, gak kayak pas tempur tadi.
“Hey, lu kena-“
“Aku pernah mimpi tentang kamu,” dia memotong omongan gw dengan kalimat yang bikin tercekat, “waktu di Ether dulu, aku mimpi ketemu kamu di tengah padang salju. Tapi rambutmu beda, berwarna coklat kekuningan. Tepatnya … rambut pecahan kesadaran Corite yang kuliat di lubuk hatimu …”
Mata gw melebar gak percaya, mulut agak menganga tanpa sanggup berkata-kata. Gak … ahha, gak mungkin ah! Masa iya sih bisa sama?
“… Aku liat kamu pake armor Prajurit Aliansi. Seakan … kamu emang bagian dari kami. Saat itu kamu … lagi-“
“Melepas Elka, kan?” kali ini gantian dia yang menatap gw penuh keterkejutan.
“A- … a-aku gak tau … apa perempuan yang ada di lenganmu itu Elka … tapi … gimana kamu bisa tau?”
“Kita mimpi hal yang sama.”
Kali ini gantian Faranell yang tercengang keheranan, “… Mimpi itu selalu terpatri di benakku. Aku selalu yakin itu adalah suatu pertanda dari Decem. Tapi gak ada yang percaya padaku, bahkan Gann sekalipun. Dia sampe bilang Decem gak akan ciptakan Corite kayak kamu. Nyatanya, kini semua jelas. Kamu adalah Corite, walau cuma sebagian.”
“… Pertanda, ya?” dengar penjelasan Si Corite tentang hal ini, malah timbul secercah kegelisahan di sudut nurani, “kalo gitu, gw berharap … sebagian lain dari mimpi itu cuma bunga tidur.”
“Apa kamu takut … kalo sebagian lainnya bakal jadi kenyataan?”
“… Ya,” jawab gw, “banget. Di mimpi itu gw mau teriak sekeras-kerasnya, tapi gak bisa. Seakan pikiran dan badan gak singkron. Dan yang lebih menyayat perasaan, gw tinggalkan Elka gitu aja di antah berantah. Gw … bahkan gak menoleh ke belakang sedikitpun saat ikut dengan lu. Gimana mungkin gw bisa melakukannya? Itu sama aja kayak lecehkan dia.”
Tatapan mata kuningnya melembut seketika. Raut muka Si Grazier walau dibalut kelelahan dan kotoran, sama sekali gak berkurang kemanisannya.
“Gw gak mau itu terjadi,” tukas gw melanjutkan.
Faranell kembali menelisik ekspresi saat gw berucap, seakan ada sesuatu yang dia cari di wajah gw, “kuharap begitu …” dia terdiam sebentar sebelum bergumam, “entah apa jadinya dirimu kalo itu benar terjadi.”
Telinga gw gagal menangkap gumaman itu dengan baik, “Apa?”
“Gak apa-apa,” tapi dia menolak buat ulang dan lebih milih alihkan pembicaraan, “saat Force kegelapanmu mengalir, apa yang kamu rasakan?”
“… Gak ada.”
“Gak ada?”
“Gw gak bisa merasakan apapun. Seolah … ada yang jadi penangkal rasa sakit,” jawab gw apa adanya.
Si Grazier berambut ungu menggapai tangan kanan yang berapa kali gw pake buat hajar muka Gabber. Kondisinya makin parah. Sarung tangan sobek separuh, jahitan Faranell udah terbuka semuanya, memar serta irisan luka cukup dalam pada kulit di punggung telapak tangan ga bisa lagi disembunyikan.
Darah pun masih mengalir dari sana, “Tapi tubuhmu … tetap terluka.”
“Ya. Kayaknya sih gitu.”
“Gimana kamu bisa segitu santai!?” bentakannya tiba-tiba bikin gw terlonjak, “Inilah kenapa kubilang harga yang harus dibayar gak murah! Sakit ada sebagai peringatan bahwa tubuh udah mencapai batas! Supaya bisa lebih hati-hati bertindak pas kita rasakan sensasinya! Kalo gak terasa apa-apa … artinya kamu kehilangan peringatan itu, dan- … dan kamu gak akan tau udah seberapa parah keadaan tubuhmu sendiri.”
Duh, diomelin perempuan cakep begini mah, paling gak bisa deh melawan.
“Aku liat gimana kamu bertempur, gimana kamu hampir buka lagi pintu yang udah kututup,” nada kecemasan sama sekali gak bisa disembunyikan dari balik kata. Sepasang mata kuning itu kembali menusuk mata ungu, “tolong, jangan jual hatimu cuma demi secuil kekuatan.”
Jadi ceritanya gw hampir dibutakan kemarahan, ya? Gak tau kalo efeknya bakal sejelek ini di mata orang lain. Yang terpikir di kepala cuma pengen kalahkan Gabber dan para Accretia kok, gak lebih. Kan itu demi Faranell juga.
Tapi seperti biasa, gw orang yang gak pernah belajar dari kesalahan. Masih aja egois, sembrono, dan gak mikirin mereka yang ada di sekitar. Huufft, kapan gw bisa berubah?
Gw belum berani janji padanya karena entah apa lagi yang akan kami hadapi nanti. Untuk sekarang, gw cuma bisa bilang, “… Akan gw coba.”
Dari atas, tetiba seorang wanita berambut coklat kemerahan yang dikepang samping terbang rendah di depan kami. Dia ini … wanita yang dipanggil Lalana kalo gak salah.
“Jadi, nikmat gak kencannya?” tanyanya berhias senyum lebar sembari masih duduk menyamping di atas tongkat melayang.
“Kencan pala lu rengat,” mulut gw udah terlalu capek buat menyangkal, jadilah batin yang bicara.
“Aku tau kamu kesal kan, sama omonganku barusan? Oh ya, ngomong-ngomong, Maximus Gatan minta aku untuk cari lalu bawa kamu beserta kawanmu yang kelewat semok ini, daaan, para prajurit yang masih tertinggal ke zona aman. Tadinya kukira kamu ke mana, taunya asik kencan ganda sama mesin terkutuk.”
“Jadi lu liat pertarungan kami … dan gak bantu?” gw bertanya agak sarkas.
“Pengen sih. Tapi ya … bukan cuma kamu yang butuh bantuanku~” dia menjawab penuh keceriaan.
Ah edan, ini perempuan otaknya beres gak sih? Tingkahnya kayak sama sekali gak terpengaruh keadaan kacau di medan pertempuran ini.
“Mini nuklir, 20 detik!” lagi-lagi terdengar peringatan dari radio komunikasi Federasi. A-apa!? Jadi udah sedekat itu!? Ternyata pertarungan gw tadi makan waktu lebih dari yang seharusnya. Mampus lah kita!
Disusul seruan Maximus Gatan, “Lalana!”
“Gimana kamu berencana buat bawa kami?” Giliran Faranell yang ungkapkan penasaran, “gak mungkin kamu nyuruh prajurit-prajurit yang tertinggal di area ini buat naik tongkat terbangmu, kan?” pertanyaan yang bagus.
“Tsk, tsk, tsk. Kamu mesti lebih banyak belajar, Semok,” ledeknya atas pertanyaan Faranell. Dia dekatkan wajah pada Si Grazier sampe bibir mereka nyaris bersentuhan seraya elus mesra pipinya, “tiap wanita wajib punya rahasia masing-masing.”
“A-a-a-awaa!?” Diperlakukan begitu, jelas bikin Si Corite perempuan kebingungan dihias rona merah di sekujur muka.
Usai bikin Faranell tergagap, perempuan berkacamata debu itu meluncur tinggi ke langit dengan cepat. Hembusan angin terasa begitu kencang dari belakang tongkatnya, sampe sanggup bikin rambut ungu ponytail Faranell berkibar. Apa yang bakal dia lakukan!? Kenapa dia bisa begitu tenang dan percaya diri!?
“Mini Nuklir! 13, 12, 11 …”
Abis terbang cukup tinggi, Lalana menukik tajam menuju daratan. Aliran angin di sekitar kami terasa ikut berputar dan terkonsentrasi di ujung tongkat Si Wizard, “Saksikanlah! Wind Barrier!”
Suara dentuman membahana, diikuti gelombang angin bergulung-gulung menyebar ke segala penjuru dari ujung tongkatnya yang hujam tanah sebagai pusat. Area yang tertutup gelombang angin itu sangat luas, selimuti tubuh tiap prajurit tanpa terkecuali di area ini seutuhnya.
Gw bisa merasakannya. Biarpun gak bisa diliat, tapi tubuh gw kayak dilapis zirah dari aliran angin yang terus bergerak liar!
“9, 8 …”
“Ayo, Kroco! Mulai lari kalo gak mau gosong! Barrierku cuma bertahan 45 detik! Kalo masih mati juga, jangan salahkan aku! EHEHEHAHA!”
“HAVVA, TERIMA KASIH!”
“LU EMANG PELINDUNG KAMI!” Prajurit Resimen 1 di sekitar kami berteriak sambil berlarian. Kecepatan mereka … gak bisa dipercaya. Meningkat amat drastis! Efek mantra tadi kah?
Gw pegang pergelangan tangan Faranell dan mulai menariknya, “Ayo!”
Muka paniknya mengangguk lucu. Berkat mantra tersebut, tubuh kami terasa begitu ringan dan sanggup berlari seolah gak menapak tanah. Mantap!
“3, 2, 1! Bersiap ledakan!”
Mini nuklir jatuh sekitar 700 meter di belakang kami! Ledakannya keras gak terkira dan bikin pengang telinga. Gelombang kejut yang dihasilkan sanggup bikin kami terdorong ke depan. Aliran angin yang melapisi kulit kami bergerak makin liar, lindungi tubuh dari segala macam serpihan batu tajam beterbangan dan tembakan udara panas saling bergesekan.
Kami terus berlari tanpa berani tengok belakang. Satu-satunya yang terpikir adalah keluar dulu dari jangkauan ledakan teramat bahaya ini.
Kepulan asap pekat penuh radiasi mulai mengepung! Sialan! Biarpun udah dapat buff, masih juga terlalu lambat! Gw lepas tangan Faranell dan langsung gendong dia, tapi Si Grazier agak berontak gegara terkejut. Tangannya dorong-dorong muka gw, “Kyaah! Ih, ih! A-apaan sih kamu!?”
Ebuset ini anak, “Daargh! Diam dong, emang lu mau gosong!?” gw juga sebenarnya ogah, dikira gak berat apa!? Cuman apa boleh buat, ini biar bisa lebih cepat!
Kepala bermahkota ungu itu cuma kasih gelengan cepat sebagai respon.
Gw mulai kerahkan segala daya upaya pada kedua kaki, beradu cepat dengan asap tebal. Faranell lingkarkan lengan di sekitar leher gw seraya pejamkan mata untuk cegah asapnya mengiritasi lebih jauh.
Berharap pandangan gak lagi didominasi kepulan hawa panas, tapi harapan itu belum juga tercapai. Gw masih belum bisa ungguli kecepatan menyebarnya asap.
Usai beberapa saat lari, mendadak tepat di depan gw terdengar rapalan mantra, “Whiffle!” BLAAAS! Angin lagi-lagi berhembus kuat, tapi cuma di samping kanan-kiri. Berkat zirah gak kasat mata yang masih melapis badan, kami gak ikut terdorong.
Pandangan yang tadinya terhalang tirai gelap, tau-tau jadi jernih. Lalana udah berdiri menunggu kami sambil sampirkan tongkat ke bahunya, masih dengan ekspresi ceria, “Kayaknya ada yang butuh udara segar.“
Beberapa Prajurit langsung berhamburan menuju Spiritualist berkepang samping tersebut. Raut lega terukir di muka-muka mereka.
“HAVVA! LU YANG TERHEBAT!”
“Ahha okey, okey, biasa aja kali. Cuma laksanakan tugas, kayak biasa.”
“GIMANA KITA BISA SELAMAT DARI LEDAKAN ITU!? GAK NGOTAK LU, MAK LAMPIR!”
“Woi! Kenapa jadi ngatain!? Dasar gak tau diri!”
Astaga. Kita baru aja selamat dari ledakan nuklir Kekaisaran, dan semua itu berkat kemampuan Spiritualist anggota Resimen 1 Satuan Tugas Gabungan yang sanggup kasih sokongan pada prajurit sebanyak ini sekaligus. Itu … luar biasa.
“B-Bol …” ganggu Faranell.
“Mm?”
“Kamu bisa turunin aku.”
“… Oh! Iyaiya.”
Dan keadaan pun tetiba jadi canggung.
Faranell yang agak merona betulin armor bawahnya, sedangkan gw jadi sok-sok buang muka gegara gak kuat liat keimutan ekspresi Si Cora. Argh.
“Gak mau bilang sesuatu buat aku?” Havva berkata seraya melayang mendekat.
Gw balik tanya, “Apaan?”
“Entah. Makasih, mungkin? Untuk gak perlakukanmu semenyebalkan dua temanku sebelumnya.”
Apanya? Lu aja gak bantu pas gw gelut, malah asik nonton. Tapi … ya okelah. Seenggaknya dia udah jadi penyelamat kami.
“Makasih,” ucap gw pake muka kurang ikhlas.
“Hoo …” wanita itu turun dari tongkatnya, “biarpun di medan tempur pantang mundur, ternyata kamu penurut banget ya,” uhm … apa itu pujian?
“Jangan lengah Kamerad,” Suara Maximus Gatan kembali terdengar dari radio komunikasi, “mereka belum niat buat mundur,” dari kepulan asap tebal yang perlahan menipis, desingan dan suara khas Launcher Accretia yang lagi isi daya terdengar jelas, “laporkan status.”
“Kita kehilangan 19 Prajurit, Maximus. 6 di antara mereka berpangkat Conquest, dan sisanya gabungan antara Caters dan Royal,” ujar suara lain, “Jet tempur Kekaisaran sukses dihalau sebagian oleh Armada Udara Federasi, dan yang tersisa masih dalam pengejaran.”
Desingan yang tadi kami dengar, berubah jadi bunyi tembakan Launcher. Gak sekali, tapi berkali-kali. Ratusan roket ukuran kecil meluncur tinggi, keluar dari buntelan asap dan tertangkap mata kami.
Pas liat roket-roket itu mulai belok arah menuju ke tempat kami berdiri, jujur, gw gak kepikiran harus bereaksi gimana selain gumam lesu, “Lagi?”
Belum juga setengah jam, ini radiasi masih ada kali di kulit, udah dikirimin ‘hadiah’ susulan. Senang banget liat kita menderita dah.
“Ahha, kayaknya aku gak bakal sanggup lindungi kalian semua buat yang satu ini,” tukas Havva sambil pamerkan senyum ringan. Mata hijau hutannya pun belum lepas dari hujan roket yang sebentar lagi bakal menimpa kami.
“COMPOOUUND! BERLINDUNG!” Teriak Prajurit lain.
Para Shield Miller mulai mengangkat perisai mereka sebagai usaha terakhir, beberapa prajurit lainnya mulai cari ceruk di daratan, atau bebatuan besar buat tiarap.
Dataran hijau Solus sebagian udah gak hijau lagi. Lebih dominan gosong dengan kawah besar hasil mini nuklir para Accretia. Cih, apa para kaleng karatan itu belum puas tinggalkan ‘hasil prakarya’ di tanah kami?
Di saat banyak dari kami balik badan buat lari menjauh, Havva malah lari ke arah sebaliknya dan bersiap naik tongkat terbang. Liat hal itu, gw jelas heran. Reflek, gw tangkap pergelangan tangannya.
“Hey, katanya gak bisa kasih perlindungan!?”
“… Iya. Tapi mana bisa aku diam pas liat keluargaku terancam kematian,” Nada suara perempuan berkepang ini terdengar sedikit lain dari cara bicara sebelumnya. Bagai terselip setitik getir meski coba ditutupi rapat-rapat, “seenggaknya aku bisa mencoba~” lanjutnya seraya tersenyum ceria. Sekarang ekspesinya balik lagi kayak tadi.
Pegangan gw mengendur dan perlahan lepas sepenuhnya saat dia bilang gitu. Entahlah, ada yang bikin gw terkesiap. Selama gw punya kemampuan untuk melakukan sesuatu, gw akan melakukannya. Walau gw tau apa yang gw punya belum cukup buat melalui ini semua, seenggaknya gw bukan pengecut yang berharap sesuatu berubah tanpa berani berbuat apapun. Begitulah kira-kira gw memaknai kalimat singkat perempuan tersebut.
Gw … gak yakin perempuan dengan otak gak beres macam dia bisa sampaikan pesan yang sedalam itu sih sebenarnya. Atau mungkin … gw terlalu cepat menilai orang. Mungkin … kita gak jauh beda.
Sosok mungil terbang menyongsong ratusan roket jelas jadi pemandangan menyolok yang bisa keliatan siapapun yang lagi berada di dataran Solus.
Dan hal itu bikin Maximus Gatan bertanya via radio, “Lalana, kamu ngapain? Bukannya kamu baru aja pake Wind Barrier? Kamu gak akan bisa pake mantra itu lagi untuk 8 menit ke depan, kan?”
“Teruntuk Maximus Gatan yang kucintai dan kuhormati,” balas Havva, “teruntuk para Kroco miskin Resimen 1, keluargaku, aku sayang kalian semua. Royal Havva Lalana, undur diri.“
“Oi, Havva! Guyonan lu emang gak pernah lucu, tapi kali ini kelewatan!” suara Rev si mata singa terdengar.
“Kayaknya itu gak bisa disebut guyonan … “, langsung disahut oleh suara Markoi, “lebih tepat … perpisahan.”
Namun percuma, Havva udah gak lagi balas mereka. Entah apa kata-kata tadi masih sampe di telinganya. Dan sekarang gw baru sadar, kenapa gw sempat terkesiap tadi. Kita udah kehilangan 19 orang anggota Resimen 1. Yang berarti jadi pukulan telak di benak wanita itu, cuman dia enggan buat kasih liat perasaan sesungguhnya.
Si Spiritualist lompat dari tunggangannya ketika udah dekat dengan terjangan hujan roket, dan … melayang di tengah udara dengan posisi terbalik! Kini tongkatnya digenggam, dan di arahkan ke depan.
“Hai Ahio Si Beliung, boleh gak aku main lagi denganmu? Mungkin ini yang terakhir, tapi … jangan kapok, ya?” Seraya mantra terapal dari mulut, tangan kanan memutar tongkat itu dalam jangkauan yang luas, “ARCANE VORTEX!”
Angin kencang diiringi aura putih kebiruan dengan corak macam lingkaran sihir yang gak gw paham bentukannya langsung terbentang di depan wanita itu, dan membentuk pusaran di satu titik. Seakan tercipta rintangan tembus pandang.
Rentetan roket langsung hujani rintangan angin tersebut tanpa ampun, membungkusnya sekalian sama si perapal mantranya juga dengan kobaran api dan ledakan-ledakan. Tapi rintangan angin yang dibuat Havva gak cukup besar untuk tutupi luasnya daratan, sehingga masih ada sebagian roket yang menghujam perisai-perisai Shield Miller di bawah sini. Sekuat tenaga mereka menahan roket yang tersisa demi rekan yang berlindung di balik perisai di genggaman. 20 detik gak pernah terasa selama ini sebelumnya.
Walau begitu, dampak serangan Compound dari Kekaisaran sukses di minimalisir secara drastis berkat tindakan Si Spiritualist.
Dari balik balutan Si Jago Merah di langit, tubuh gak sadarkan diri Havva meluncur jatuh. Kepangannya rusak dan rambut coklat kemerahan kini tergerai. Armornya udah terbakar parah, ditambah kacamata debu yang dia pake pecah sebelah.
Tenggorokan Faranell bak tercekat gak percaya, perempuan yang sempat menggodanya kini lemas tanpa daya di tengah ketinggian. Kami … kami gak kuasa melakukan apapun selain menatap pemandangan itu. Perkara dia masih hidup, atau udah hembuskan napas terakhir, gak ada yang tau.
Dan terdengarlah teriakan keras lagi panjang Maximus Gatan, “LALANAAAAA!”
“I knew it, coming with you is really … terrible idea, Shorty! This is not a trip to the safe zone, but rather straight into Decem’s grace!” – Gannza (Ch. 51)
CHAPTER 55 END.
Next Chapter > Read Chapter 56:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-56/
Previous Chapter > Read Chapter 54:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-54/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list