LAKE CHAPTER 56 – SOS 11: PYROMAGNUM

Lake
Penulis: Mie Rebus
Tubuh mungil Bellatean wanita terjun bebas, gak ada tanda bakal melakukan manuver buat terhindar dari benturan fatal dengan daratan. Prajurit-prajurit yang ada dataran Solus berusaha keras untuk menuju titik di mana perempuan itu bakal mendarat, tapi kecepatan lari mereka jelas gak sanggup memangkas jarak dalam waktu singkat.
Urat wajah mereka menegang, teriakkan nama si penyelamat dari lubuk hati terdalam.
“HAVVAAA!”
“ASTAGA, MAK LAMPIR!”
“SELAMATKAN DIA, TOLOL! JANGAN CUMA NGATAIN!”
“Siapapun, tolong!”
Faak! Gw emang belum lama kenal lu. Bahkan seingat gw, kita belum resmi kenalkan diri masing-masing. Tapi … saat lu berusaha setengah mati buat lindungi kami yang berada di bawah naungan rintangan angin … .
“Mana bisa aku diam saat keluargaku terancam kematian.“
“Tsk!”
Didorong laju adrenalin di kedua kaki, gw langsung ledakkan akselerasi sekejap mata. Otot betis bak pegas yang serta merta menyentak badan, meliuk di antara prajurit-prajurit lain dan dahului mereka. Gak sulit bagi gw untuk jadi yang terdepan. Kedua iris ungu gak lepas dari target di langit, berharap bisa tangkap tubuh Si Spiritualist tepat waktu.
Gak peduli sama reaksi keheranan prajurit lain yang liat kecepatan lari gak normal. Bukan saatnya peduli dengan hal gak penting! Fokus!
Tapi belum sampe di jalur laju tubuh Havva, mendadak dari samping sekelebat bayang sukses nyusul gw! Jelas terlihat armor biru gelap yang dibalut jubah putih bernoda tanah basah. Hal itu bikin gw terhenyak, gak nyangka segitu gampang orang itu ungguli kecepatan gw yang lagi pake Accel Walk.
Sosok mungil berambut spike hitam itu sama sekali gak kurangi kecepatan. Sampe pada satu titik, dia langsung lompat buat menyambut tubuh anggotanya sebelum pecah berantakan akibat benturan. Maximus Gatan peluk erat wanita itu, berusaha putar badan supaya badannya jadi bantalan. Tubuh mereka sempat meluncur beberapa meter di atas tanah akibat momentum lompatan Sang Komandan.
Kondisi anggotanya kacau, napas Havva seakan bisa berhenti kapan aja.
“Lalana, Lalana,” panggil Maximus Gatan dengan ekspresi pilu yang gak sanggup disembunyikan. Dia elus lembut pipi yang terukir luka bakar serius, “tolong … bangun.”
Belum pernah gw liat raut muka Maximus Gatan sesedih ini. Diliat dari reaksi kamerad-kamerad yang lain, wanita itu … pasti anggota teramat penting di Resimen 1.
Gak berapa lama, Havva sedikit buka mata. Suara yang terdengar dari mulutnya lemah, “Ma … Max- imus …”
“Lalana! Saya di sini.”
“A-pa … udah selesai?”
“… Hampir. Sedikit lagi.”
“Apa … a- aku … berkontribusi?”
Dengar pertanyaan itu, sekuat tenaga Maximus Gatan coba untuk gak tertelan emosi, “Ya. Lebih dari perkiraanmu.”
“… Ah, syukurlah. Bisa aku … minta, satu hal … lagi?”
“Katakan.”
Agak lemah Havva berusaha angkat tangan kanannya diiringi senyum tipis, “Menanglah.”
Maximus Gatan terpaku bagai beku di tempat. Wajahnya sempat sedikit menunduk sebelum kemudian menatap Havva dengan penuh keyakinan dan ketegaran.
Dia sambut harapan itu dengan satu genggaman erat pada tangan anggotanya seraya berkata, “Pasti.”
Faak … pemandangan ini … gw berasa diserang deja vu dadakan. Mata gw berusaha berpaling, gak kuat. Kita udah paham betul seberapa sakit liat kematian di depan mata, tapi seakan gak ada kapoknya, perang gak akan berakhir sebelum renggut lebih banyak nyawa
“Grym … saya butuh pedangmu,” ucap Maximus Gatan dingin.
Sorot mata biru gelap begitu tajam menyayat nyali, di baliknya menyimpan gelegak emosi. Tekanan force di punggungnya ikut bergejolak tapi masih tertahan. Astaga, dia serius. Hilang sudah ketenangan Wakil Archon paling santai seantero Novus.
Tanpa banyak bantah, dua pedang gw tarik keluar dari inventori 4 dimensi dan melemparkannya pada sang pemilik asli. Pendar hijau-kuning langsung menyala begitu dua gagang tergenggam apik di tangan Maximus Gatan. Pendar yang udah terlampau lama gak terlihat kini baru kembali pamerkan taji. Pria berambut spike hitam itu lepas jubah Wakil Archon yang udah gak putih lagi.
Jubah kebesaran petinggi Federasi seakan gak ada martabatnya di mata Si Sentinel untuk sekarang, dibiarkan terhempas gitu aja di atas tanah.
“Anggota Resimen 1 yang tersisa, dengarkan saya. Semua tempur, jangan ada yang kabur. Kalo saya liat kalian kabur, saya sendiri yang bakal tusuk kalian satu-satu,” instruksinya begitu tegas menjalar di telinga kami, “antara kita atau mereka yang mati. Gak ada pilihan ketiga.”
“SIAP, MAXIMUS!” Para prajurit di bawah komandonya seolah gak punya putus asa, masih lantang suara mereka.
“Titip dia,” bahkan Maximus gak berpaling saat mengucap itu.
Kemudian dia … menyayat badan sendiri …?
“Ma-Maximus …?” Entah mentor gw ini masih waras atau enggak, gw beneran gak paham tindakannya. Dengan dua pedang di tangan, dia goreskan banyak luka di beberapa bagian tubuh; tangan, kaki, leher sampe teteskan darah lalu barulah segera berakselerasi menuju pasukan musuh.
Pertempuran kembali pecah saat terjangan Maximus Gatan disambut rentetan amunisi dari senapan-senapan mesin Accretia! Tapi tentu bukan suatu kesulitan baginya untuk mengelak di antara ledakan. Gerakannya begitu lincah dan gesit.
Begitu cepat Wakil Archon kami udah berada di tengah kerumunan prajurit besi, tanpa ampun menebas tiap zirah logam yang berani berdiri di hadapannya! Ciri khas sabetan Maximus Gatan belum berubah dari dulu, masih kayak air luwes mengalir tapi tetap mematikan karena terus tertuju ke titik vital.
Walau keliatan terkepung dari segala arah, bukan berarti serangan para prajurit Accretia bakal kena telak. Tubuh mungil ciri khas Bellatean belum berhenti menari di ujung tebing kematian. Kami yang liat hal itu tentu dibuat was-was. Bisa-bisanya terjun jauh ke garis depan tanpa tunggu sokongan kawan!
Sayang, biar kata udah ganti senjata, keliatan serangan Maximus Gatan tetap belum mampu buat menembus zirah tebal mereka.
Itu yang semula gw pikirkan, sebelum sadar satu hal yang nyaris luput dari pengamatan. Tiap ayunan pedang, tiap gerakan yang dia lakukan, tiap kali dia berakrobat bikin luka-luka goresan di tubuhnya keluarkan lebih banyak darah. Dengan segala cara, Maximus Gatan berupaya tinggalkan noda merah meski cuma setetes ke bagian tubuh lawan-lawannya.
“Blood Dance.”
E-edan! Diiringi satu hentakan tangan, tiap tetes darahnya yang menodai armor-armor prajurit Accretia meledak tanpa suara! Bagian tubuh para prajurit Kekaisaran yang terkena langsung lenyap tanpa bekas. Ada yang hilang kepala, ada yang bolong bagian dada, ada yang tinggal setengah akibat sisi kirinya udah jadi sejarah.
Dasar, pria tua itu … ada aja ilmu yang bikin rahang gw nyaris lepas.
Onggokan logam entah berapa jumlahnya bertumbangan di depan mata kami, gak sanggup dihitung jari. Tersisa sosok Bellatean pria masih tegak berdiri, bermandikan darahnya sendiri yang bercampur dengan pelumas para prajurit Kekaisaran. Sorot mata biru gelap belum tunjukkan tanda bakal melunak, malah pamerkan sirat makin galak.
“Saya udah terlibat banyak pertempuran. Dan jumlah Corite maupun Accretia yang mati di tangan saya … sampe gak terhitung lagi.”
Muke gile. Ja-jadi inikah … .
“Banyak dari mereka yang takut dengar nama saya, jadi wajar kalo disebut-sebut di medan perang.”
… Gatan “Blood Raider” Valsynvis?
“How long has it been since last time you used that cursed blood? (Udah berapa lama sejak terakhir kali lu pake darah terkutuk itu?)” ujar datar prajurit Accretia berzirah hitam yang bawa gada, gak tunjukkan peduli rekannya gugur.
Mata biru gelap Maximus Gatan mengunci sosok itu, “Hasn’t been too long. You didn’t forget about it (Belum lama. Lu gak lupa.)“
“Cocky as usual i see. Where’s your leader? (Sombong seperti biasa. Mana pimpinan kalian?)”
Dengan santai Maximus Gatan menyampirkan sebelah pedang ke bahu kanannya, “You’re looking at him. (Lu lagi menatapnya.)”
Accretia berzirah hitam tersebut berjalan dekati Maximus Gatan, tapi Wakil Archon kami gak tunjukkan sikap bakal menyerang. Sampe akhirnya mereka berhadapan langsung. Begitu kontras ukuran keduanya. Prajurit besi itu keliatan bak menara di depan pemimpin kami.
Keadaan seakan dibuat kayak gencatan senjata singkat. Baik pasukan Federasi atau Kekaisaran sama-sama tahan tembakan.
“I’m talking about that damn volcano boy. (Yang gw maksud bocah volkano sialan itu).”
“He’s not here. (Dia gak ada di sini).”
Accretia berzirah hitam itu diam. Lalu dia angkat Gada dan menunjuk tempat gw berdiri, “Give us the boy, then your puny fortress will be spared. Or … you can fight for him as long as you want. But i assure you, you will lose both. (Beri kami anak itu, maka benteng menyedihkan kalian akan dilepas. Atau … kalian boleh bertempur untuknya selama yang kalian mau. Tapi kami pastikan, kalian akan kehilangan keduanya.)”
A-apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Sama sekali gak paham satu katapun. Pasti bawa-bawa gw lagi dah.
“… We already tried to kill each other earlier. You already killed my finest comrades, i already tore dozen of your rusty cans. Hell, you even nuked the shite out of us. Now you want to do this? (Kita udah berusaha saling bunuh barusan. Lu udah bunuh kamerad-kamerad terbaik gw, gw udah preteli lusinan kaleng karatan lu. Persetan, lu bahkan kirim nuklir buat kami. Sekarang lu mau nego?)” wajah Maximus Gatan bersungut-sungut sejenak, lalu spontan meludahi muka Accretia berzirah hitam itu! “Fuck yourself. (Matilah.)”
Tiba-tiba dari samping sebuah luncuran roket langsung menghujam Accretia berzirah hitam! Api seketika mengurung Accretia itu seraya terpental akibat daya ledak tembakan tadi.
Jujur semua yang ada di sini kaget liat kejadian barusan, kecuali Maximus Gatan yang pasang mimik nyaris tanpa ekspresi.
“HA HA HA! MAKAN TAI, KEPARAT!” Terdengar teriakan wanita dari radio MAU merah bertipe Catapult. Moncong pelontar roket di bahunya masih kepulkan asap putih bekas tembakan.
“Gak bisa lebih hati-hati?” celetuk Maximus Gatan, “gw nyaris mati.”
“Halah, mana mungkin lu mati gara-gara gituan doang,” suara itu … siapa lagi kalo bukan Maximus Izcatzin.
Kedua lengan MAU itu terdapat tulisan Razoreniye dan Desastre. Gw bahkan gak paham apa artinya, tapi coretan putih tersebut bikin Catapultnya keliatan makin gahar.
Seonggok besi hitam terbakar kini berserakan akibat dihantam roket dadakan. Tapi bukan prajurit Kekaisaran namanya kalo gak bisa kasih kejutan. Karena dari tubuh yang tersisa itu, serpihan-serpihan logam kembali terkumpul dan membentuk badan utuh!
“Where’s your manner, Ginger? I thought it’d be nice to see you, but no. This is what i get. (Di mana sopan santun lu, pala jahe? Gw kira bakal menyenangkan ketemu lu, ternyata enggak. Ini yang gw dapat.)”
“Hah, udah gw duga kali ini gak bakal segampang itu bikin dia hancur lebur.”
“Lu pikir? … Semoga lu siap berlama-lama di lantai dansa, Izcatzin.”
“Kalo lu yang ngajak sih gak masalah.”
“… Ini bukan waktu yang pas buat tebar kode.”
Bunyi suara kokangan senjata mesin di lengan kedua MAU merah Maximus Izcatzin langsung terdengar, “Gw tau! Ini waktu yang pas buat tebar teror! YA HA!”
Maximus Gatan dibuat geleng kepala dengan celetukan rekan Armor Rider. Kedua Wakil Archon itu kembali siaga hadapi gelombang serangan pasukan kaleng yang lebih hebat dari sebelumnya.
“F-Flami … o,” sibuk perhatikan kejadian-kejadian absurd pertempuran, gw dikejutkan suara Havva! Ternyata dia masih hidup!
Dan yang lebih mengejutkan lagi, entah dari mana sosok berambut pink kuncir dua udah berlutut di dekatnya! Tunggu, kenapa gw masih aja kaget ya? Harusnya udah terbiasa dengan kelakuan ini anak yang suka tau-tau nongol.
“Kamu … terbakar.”
“Iya, mu-mungkin … gak lama lagi,” balas Si Spiritualist angin, “tapi aku lega, kamu … kemari, Flamio.”
Flamio? Kenapa dia manggil Mein pake nama itu?
Muka Mein mengiba pada kawan sesama Spiritualist. Tunjukkan simpati mendalam, kayak mau nangis tapi ditahan.
Belum pulih dari kesedihan, beberapa prajurit besi berlarian ke arah kami dengan cepat! Hentakan kaki mereka begitu keras sampe terasa getaran kecil di daratan. Faak! Gak bisa banget liat kita napas dikit.
Jumlah mereka gak nyampe sepuluh, tiga di antaranya berdiri lebih di depan dari yang lain.
“Explosions. I want it, and i want it now! (Ledakan. Aku mau ledakan, dan maunya sekarang!)” Salah satu prajurit metal itu langsung keluarkan sebuah senjata berat inventorinya sembari lari. Launcher Kekaisaran dengan tulisan ‘Crosshair’ di ujung moncong.
“Can’t believe we have to cover for Gabber and Ironall’s failure. What a fuckin mess, (Gak bisa dipercaya kita harus menutupi kegagalan Gabber dan Ironall. Kacau.)” ujar salah satu dari mereka yang mulai siagakan sepasang tonfa.
Faaak! Kenapa mereka harus terus-terusan muncul di saat yang gak gw harapkan!?
Gak tinggal diam, gw aduk inventori 4 dimensi dan siapkan busur beam komposit beserta anak panahnya, “Ada ide harus gimana?” Tanya gw pada Mein.
“Mereka akan, dapat … balasan,” Wizard spesialis api keluarkan tongkat … yang belum pernah gw liat. Ganti senjata nih ceritanya?
Tongkat itu merah cerah dengan garis spiral kuning di ujung dan pangkalnya. Mein genggam erat tongkat tersebut pake dua tangan, lalu dipelintir ke arah berlawanan sampe keluarkan bunyi ‘krak’. Tetiba tongkat di genggamannya terpisah jadi bagian-bagian yang lebih kecil dalam jumlah banyak berbentuk segilima, dan langsung melayang-layang di sekitar penggunanya.
Paham kalo sesuatu bakal terjadi, para prajurit Kekaisaran gak biarkan Mein selesaikan apapun yang lagi dikerjakannya! Satu dentuman dari pemilik launcher bertuliskan ‘Crosshair’ udah cukup jadi penyebab gw langsung gotong Havva dan menghindar dari sini.
Wizard berambut pink ikut lompat ke arah berlawanan dari lompatan gw. Sedangkan pecahan-pecahan segilima yang makin lama makin memerah terang seakan sigap ikuti gerak si pengguna.
Striker barusan gak kasih kami kesempatan bernapas! Kali ini tanpa ampun dia hujani kami dengan Compound!
“Mein!”
Amunisi-amunisi berterbangan dan begitu sulit diliat bagi orang yang gak punya kemampuan presepsi gerak lambat. Agaknya itu juga yang bikin gw sedikit cemaskan Meinhalom. Si Wizard berusaha ambil beberapa pecahan segilima yang melayang acak di sekeliling tubuh dan menjadikannya sebagai tameng sementara.
Arggh! Gegara sambil gotong orang, gw jadi susah bermanuver buat bantuin!
Seakan paham kesulitan yang gw alami, Havva berkata lemah, “… turunkan aku. Gak ada gunanya … lindungi, p-prajurit yang ajalnya udah dekat.”
Haruskah gw turuti perkataannya? Ugh. Pengennya sih gitu. Apalagi terus-terusan digencet gini ama kaleng rombeng. Tinggalkan Havva di sini keliatan jadi opsi paling optimal yang bisa diambil.
Gigi gw mengertak akibat ingatan tentang bapak prajurit yang tewas dikroyok Kekaisaran sebelum ini kembali menyeruak.
“Gak mungkinlah, dungu!” bantah gw tegas, “Gimana bisa gw tinggalkan lu kalo Maximus Gatan nitipin lu ke gw!?” Muka Havva tampak sedikit terhenyak gak percaya. Sebelum keadaan berkembang jadi moment di mana satu lagi perempuan bakal jatuh hati ama gw macam anime sonen, mulut gw melanjutkan biar gak gagal paham, “dia bakal nusuk gw dengan tangannya sendiri.”
Tawa kecil lolos dari mulut Spiritualist itu, “Iya juga.”
Dua Accretia masing-masing bersenjatakan sepasang tonfa dan senapan serbu dekati Meinhalom dengan gerakan teramat gesit! Faak! Gimana caranya gw bisa bantu perempuan itu dalam keadaan begini!?
Accretia yang bawa tonfa menyentuh sisi kanan kepala besi, membuatnya bicara bahasa kami, “Binasa lebih baik ketimbang menyerah!”
Untungnya Si Wizard sukses mengelak dari sodokan tonfa maut Accretia itu sembari arahkan tangan ke depan, “Jetstream,” ledakan spontan energi panas dari telapak mementalkan badannya jauh ke belakang, kembali perlebar jarak antara mereka. Selagi kaki Mein menggelincir di daratan, sorot mata pink berubah sayu menatap prajurit Kekaisaran lain yang siap lubangi tubuhnya dengan brendelan peluru.
Serta-merta dia pertemukan dua kepalan tangan di depan dada sembari rapal mantra, “Pyromagnum.”
Api merah bergejolak hebat dari tubuh Meinhalom. Begitu silau sampe bisa bikin bidikan Accretia bersenjatakan senapan serbu melenceng ke mana-mana. Rambut panjang juga ikut terbakar, dua kunciran di kepala terlalap api sehingga rambut pink kini tergerai bebas.
Pecahan-pecahan segilima yang tadi melayang gak beraturan, jadi tenang dan sebagian besar mengorbit di belakang punggung. Sebagian sisanya memutari dua pergelangan tangan serta pergelangan kaki Si Wizard mungil. Aura merah kejinggaan gak bisa disembunyikan lagi, dan telapak kakinya mulai mengambang di udara.
Kedua alis dan mata Si Wizard bersinar begitu membara, diikuti telapak tangan dan kakinya yang juga terselimuti si jago merah. Api di rambut pink perlahan terkonsentrasi dari pertengahan batang sampe ujung-ujungnya.
Tampang blo’on jelas terpampang di muka gw dihias mulut setengah nganga gegara liat mantra transformasi tersebut, “Sejak kapan bisa jadi super saiya?”
Tapi tentu gak dapat respon apa-apa selain tatapan sayu tanpa senyum dari perempuan itu.
“Dia … begitu terang, kan?” Tanya Havva tiba-tiba, “Cantik.”
Emang sih, gak salah. Tapi … gimana ya? Perubahan Mein dijamin bisa bikin siapapun terintimidasi. Matanya aja kayak gak ada pupil gegara terselubung nyala si jago merah. Apa gak kepanasan ya tu anak?
Seakan sadar lagi jadi bahan omongan, Si Wizard mendekat. Selagi melayang, nyala segilima mengikuti di bawah kaki. Sedangkan segilima-segilima kecil di punggungnya terus bergerak tenang. Kadang mengorbit, kadang membentuk tiga untaian panjang macam rantai api dan melambai anggun.
Pas dia berdiri di hadapan gw, Meinhalom menyentuh dahi Havva dengan jari telunjuk dan tengah yang dirapatkan, “Heat Addict,” gak lama setelah itu, disusul mantra kedua, “Overheat Purgation.”
Wah gila sih. Dia bahkan gak nanya persetujuan pasien dulu, main bakar aja hidup-hidup!
Titik api langsung muncul dari luka-luka yang diderita Havva, lama kelamaan makin membesar dan akhirnya membungkus seluruh tubuh. Gw sedikit keheranan liat Havva cuma meringis kecil tahan sakit. Gak kejang-kejang macam cacing di garemin kayak yang dulu pernah gw alami di Ether. Padahal prosedurnya sama deh perasaan.
Kok gitu ya?
Hal lain yang gw sadari; kayaknya kemampuan reseptor rasa sakit gw belum balik juga. Soalnya tubuh Havva yang lagi terbakar masih ada di tangan gw, dan lidah api yang berkobar di dekat gw ini benar-benar gak terasa panas.
“Gw suka gaya lu, bocah kecil. Lu Spiritualist, tapi gak panik pas disodok,” ujar Si Accretia bertonfa pada Mein, “sayang, harus gw ingatkan; api gak berkutik di hadapan kami.”
Usai merapal mantra penyembuhan ekstrim, Mein terus menatap sayu Accretia itu sambil menunjuk arah di mana Brigade Support berada. Biar kata ini bocah gak bilang apa-apa, gw paham dia pengen gw bawa Havva ke sana gak peduli rintangan apa yang menghadang, walau tubuh gw harus remuk sekalipun. Entah apa gw yang salah tapsir atau dia yang emang kejam, tapi begitulah kira-kira intinya.
Jadilah gw mulai berlari sekuat tenaga … lagi. Ajegile! Perasaan kerjaan gw dari tadi mondar-mandir gendong perempuan mulu ya di mari!?
Satu prajurit besi dengan persenjataan belati ringan meneriaki si pembawa tonfa, “Linkbuster! Apa lu tolol!? Incaran kita bisa lepas!”
“Lu kira gw buta!? Tangkap dia! Jangan cuma bicara!” teriak Accretia bersenjatakan dua tonfa itu pada mereka.
Dan tau-tau mereka jadi kompak ngejar gw! Faaak!
Prajurit logam bersenjatakan belati pendek yang tadi teriakin si pembawa tonfa, gerakannya lebih cepat dari Accretia lain! Dia tampak begitu napsu memburu gw!
Sangking paniknya, gw teriak macam begal dikejar warga setempat, “TOLOOONG!”
“Jetstream,” Mein langsung meledakkan energi panas dan meluncur cepat ke arah gw. Dia nyelip di ruang kosong antara gw dan Si pengejar, segilima di punggung serta sekeliling pergelangan tangan berpindah ke depan telapaknya, “Firefall; Straight Array,” Ufft! Pilar api masif langsung mendorong mundur pengejar gw itu. Armor besinya langsung menyala merah akibat diterjang suhu tinggi tiba-tiba.
Belum selesai! Satu terhempas mundur, yang lain maju! Si Pemegang tonfa langsung menerjang Meinhalom tanpa ampun! “Ini bukan hari keberuntungan lu, kompor!”
Bunyi logam bertabrakan membahana ke segala penjuru! Sepasang tonfa yang dibawa Accretia itu digenggam sebuah MAU. Dua logam raksasa tampak saling adu kekuatan!
Dari speaker Goliath hitam legam itu terdengar suara Royal Oritzi, “Ini juga bukan hari keberuntungan lu, Linkbuster,” Goliath Oritzi langsung mengangkat Si Pembawa tonfa dan melempar dengan segala daya.
Berkat intervensi dari Si Armor Rider, gw berhasil sampe ke tempat prajurit Brigade Support berada. Salah satu dari mereka baru aja tiba, dan gw kenal perempuan itu. Rambut biru langitnya sangat khas, dilapis armor Spiritualist tingkat tinggi dari ujung kepala sampe kaki. Dia langsung memekik begitu liat gw bawa-bawa tubuh wanita dengan api berkobar, “Astaga!”
“Conquest Rylit! Saya gak punya waktu buat jelaskan, intinya api ini gak melukai tapi justru memulihkan! Sekarang dia cuma butuh perlindungan!” ujar gw rada cepat seraya letakkan tubuh Havva di tanah.
“A-apa? Yakin? Ini gak terlihat seperti penyembuhan.”
“Percayalah. Saya titip dia!” Si Astralist sempat mau menyentuh tubuh Havva, tapi sontak menarik tangannya pas dirasa hawa panas menyengat indra peraba. Matanya beralih ke gw, makin tampak raut kebingungan di mukanya. Gw gak terlalu gubris itu, langsung tinggalkan Havva bersama Conquest Rylit dalam keadaan masih tercengang.
Setelah berdiri dari jatuhnya, Accretia bertonfa diam sejenak sebelum bertanya, “… Siapa lu? Gimana lu bisa tau nama kode gw? Apa kita pernah bertemu?”
“Nama gw bukan hal penting, toh Prajurit Kekaisaran terkenal macam lu gak bakal ingat apa yang udah mereka hancurkan.”
“… Gw suka omongan lu, Pilot. Poinnya kena-” di tengah perkataannya, dari belakang, lima roket melesat lewati kedua sisi kepalanya!
Black Goliath Oritzi jelas gak mampu menghindar! Tapi tentu Mein gak tinggal diam!
“Fireflies; Reign of Flames,” segilima kecil di sekeliling badannya bergerak membentuk formasi gak beraturan di atas kepala bermahkota pink setengah terbakar, lalu langsung menembakkan titik-titik api gak terhitung banyaknya buat hancurkan roket-roket yang mengincar MAU Oritzi! Gumpalan api raksasa membumbung tinggi saat teknologi dan mantra beradu sengit.
“Crosshair, bedebah! Gak liat gw lagi bicara, hah!?” bentak Si Pembawa tonfa geram sembari balik badan, “berapa kali harus gw bilang, Cloudrake!? Kendalikan impuls teman lu itu!”
“Gak mungkinlah! Gimana caranya!? Prosesornya miring dan lu harusnya tau itu!” balas Accretia dengan persenjataan ringan gak kalah keras.
Accretia yang dipanggil Linkbuster tepok jidat, “Gw gak peduli gimana caranya, lakukan!” kemudian dia beralih lagi pada lawannya, “Maap atas gangguannya, ada kawan gw yang rada sinting dan- oh … astaga.”
Linkbuster tercekat liat pemandangan di depan mata artificialnya. Iyalah, siapa yang gak bakal kaget liat lidah api hasil peraduan yang tadi menggumpal tinggi ke langit, tau-tau tersedot membentuk bola energi merah di depan dada perempuan berambut pink!? Energi panas terus berputar dan tertekan di satu titik, bak lagi dijinakkan sang pawang.
“Ember’s End,” dengan satu dorongan, bola energi itu langsung melesat.
Namun bukannya menghindar, Linkbuster justru melindungi bagian depan dengan sepasang tonfa di lengannya. Semacam medan gaya … tipis berwarna ungu pudar terbentuk dari tonfa tersebut? Mantra Meinhalom menabrak medan gaya yang melindungi Prajurit Kekaisaran itu, membakar memang. Tapi sama sekali gak menyentuh sang pemegang tonfa.
A-apa itu … Force? Ahha, masa sih? Gak mungkin ah robot bisa pake Force. Pasti mata gw aja yang salah liat.
“Gw jengkel kalo harus ngomong berkali-kali. Tapi … udah gw bilang, api-“
Omongannya gak sempat selesai karena Black Goliath Royal Oritzi udah bermanuver dan memangkas jarak dalam sekejap, meninju Accretia itu tanpa peringatan! Kepalan besi raksasa terhenti akibat beradu keras dengan medan gaya dari sepasang tonfa!
“Gimana dengan serangan fisik!?” seru Oritzi.
Tapi tampak tinju dari MAU Goliath juga belum mampu hempaskan pertahanan Linkbuster.
“… Lu tau? Gw muak dari tadi omongan dipotong terus!” Seru Accretia itu, “usaha lu sia-sia, pilot! Pertahanan ini gak akan bisa dipatahkan semudah itu!”
Dari siku Black Goliath memancar roket pendorong yang menambah daya dobrak tinjunya! Medan gaya Si Accretia perlahan retak, sampe akhirnya pecah berantakan dan kepala besi Linkbuster harus rela terima bogem mentah telak. Dia terbanting keras dan tubuh logamnya harus mencium daratan.
“Lu bilang apa tadi?” ledek Si Armor Rider.
Mantap! Gak salah emang Armor Rider yang satu ini paten amat skillnya. Sayang, usai lancarkan serangan tadi, tangan kiri Black Goliath sedikit alami keretakan. Percikan listrik dan asap tipis sesekali memancar dari sana. Cih, padahal baru sekali serang.
Gw seolah bingung, apa yang bisa gw lakukan buat bantu Mein dan Oritzi? Kombinasi serangan mereka tersinkronisasi dengan baik. Gw takut kalo tau-tau sok ide melakukan hal-hal absurd, yang ada malah merusak irama mereka. Bisa kacau urusannya.
Tetiba dua bilah belati dengan kawat besi terlempar dari arah samping! Insting gw langsung ambil alih kendali tubuh dan mengelakkan badan. Tapi sayang, insting gw telat sadar kalo ternyata ada satu lagi belati yang terlempar belakangan. Begitu belati tersebut sukses menancap di paha kiri, ujungnya langsung keluarkan kail kecil yang bikin gak bisa lepas!
“Dapat!” teriak Accretia yang disebut Cloudrake.
“Faak!” Dia menarik kawat besi di tangannya sekuat tenaga, bikin gw jatuh dan terseret. Gw ngotot lawan tarikan Accretia tersebut dengan mati-matian cengkram tanah basah, tapi percuma. Jemari gw cuma bisa tinggalkan jejak garis akibat terus tertarik.
Tubuh gw terpelanting ke arah Cloudrake akibat satu sentakan tiba-tiba! “STRIKE!”
“Strike pala lu rengat!” Ogah pasrah gitu aja, gw langsung anak panah dari inventori. Selagi melayang di udara, gw berusaha buat bidik panah dan itu susahnya bukan main, “lu kata mancing!?” Dua anak panah melesat dari tali busur. Lajunya tambah cepat akibat tubuh gw lagi dibawa tarikan.
“Oh ya! Gw lagi mancing …” namun betapa kaget gw pas liat tubuh logam meliuk dengan luwes hindari kedua panah tadi, “… mancing keributan.”
Dia menumbuk tepat dada Bellatean mungil nan kurus yang lagi melintas kencang! Ah, bangke! Emang gak sakit, tapi tetap batuk darah. Lama-lama beneran jadi perkedel kalo terus-terusan digilas gini.
Belati yang ada di tangannya menghujam kepala gw. Mata ungu melebar, dan gw berusaha menepis belati itu pake busur beam komposit. Senjata kami saling bergesekan sebelum belatinya tertancap di sebelah muka. Gw bangkit dan menendang badan Accretia itu supaya bisa manpaatkan gaya dorong buat menjauh.
Selagi melesat ke belakang, busur gw melepas beberapa anak panah lagi. Cih, kali ini pun masih belum tepat sasaran gegara gerakan kaleng itu yang amat lincah. Kampureto, baru sekarang gw nemu robot punya manuver hindaran macam penari.
Ah, udahlah, mau gak mau harus pake ‘itu’. Satu panah khusus gw keluarkan. Panah dengan hulu ledak kecil di kepalanya.
“Ayo liat apa lu masih bisa mengelak,” bisik gw biar gak terdengar sang lawan. Kalo ternyata gak kena kan malu nanti udah terlanjur bacot.
Gw tembak panah khusus itu pake tenaga busur yang gak terlalu kuat, lalu langsung diikuti tembakan kedua dengan tarikan penuh hampir tanpa jeda.
“Hah? Bukannya panah lu terlalu lambat?” ujarnya saat liat lesatan panah gak secepat sebelumnya.
Cloudrake hendak lakukan manuver hindaran lagi, tapi panah kedua keburu tepat kena hulu ledak dan langsung keluarkan ledakan di hadapan Accretia itu. Pecahan peluru tajam ikut menyebar dan membuatnya gak mampu menghindar kali ini!
“Yes!” Gw lega bisa lancarkan trik begituan. Walau harus diakui, paktor hoki berperan lebih besar.
Belati-belati dengan kawat besi di gagangnya menembus asap ledakan! Ogah ketarik lagi, gw terus meliuk hindari terjangan senjata-senjata Accretia itu sampe perlahan asap ledakan hasil panah gw hilang, dan pamerkan sosok Prajurit Kekaisaran lagi memutar belati-belati berkawat besi di sekelilingnya.
Wajar sih, mana mungkin dia tumbang pake trik murah barusan.
Zirah besinya tampak lecet dan tergores, terus-menerus keluarkan asap dari serangan gw. Untunglah, seenggaknya pertahanan Accretia yang satu ini gak setebal kawan-kawannya yang lain.
“anggap ini kabar hiburan; serangan lu cukup ‘sakit’,” celetuk Cloudrake, “tapi pancingan gw belum pernah lepas sebelumnya!” Dia menarik badan kemari dengan bertumpu pada satu belati yang masih tertancap erat pada sebongkah batu di belakang gw! Shite!
“Apa gw keliatan kayak ikan!?” Tapi ini justru kesempatan! Mumpung lagi melaju segaris lurus, gw tembak dia sekali lagi sambil lompat menghindar.
BRAK!
Kaki besinya menapak bongkahan batu tersebut, dan tinggalkan ceruk jejak kaki di sana, “Lu lebih tepat disebut ‘belut’.”
Bah, tembakan gw meleset gegara sembari guling ke samping. Lagi, dia lemparkan dua belati. Tapi kali ini ke tanah tempat gw berpijak dan dia langsung melesat! Hal itu bikin gw otomatis balik badan dan ambil langkah seribu!
Tumbukan kaki Prajurit Kekaisaran yang ketemu tanah begitu ngeri didengar telinga, “Berhenti lari dan biarkan gw meringkus lu, belut darat!”
Mana ada orang waras bakal nurut perkataan musuhnya! “Coba lagi sini, goblok!” Aw, kenapa ya mulut gw jadi makin toxic semenjak Force kegelapan gw bangkit?
Bawaannya pengen manas-manasin suasana mulu padahal gak perlu dibacotin juga udah panas.
Gw terus berlari dengan segenap kemampuan. Dia tetap belum menyerah, masih lompat-lompatan pake belati-belati berkawat besi. Sayangnya, di depan gw menjulang tebing tinggi. Faak, dia menyergap sedemikian rupa supaya bisa menggiring gw ke tempat ini.
“Kemarilah belut kecil, biarkan gw menabur garam di kulit lu! Hah ha!”
Gak mau terima kenyataan kalo dia bakal menang dengan segala kesombongan, gigi gw mengertak gegara geram.
Tapi bohong! Saat musuh dibalut arogansi itulah saat favorit!
Bibir gw sontak menyimpul senyum ledekan ketika sebuah kepingan segilima merah terang meluncur deras dan tertancap di hadapan Accretia itu. Di atasnya langsung proyeksikan sosok Meinhalom yang tengah ambil ancang-ancang dengan tangan kanan ke depan. Untaian segilima berpindah ke sekitaran tangan kanannya dan berputar seperti turbin yang makin menyala!
“Hypercanon,” energi panas yang terpusat di telapak tangan kanannya spontan menembus tajam ke dada Accretia itu! Tembakan yang dengan mata telanjang keliatan kayak laser super bertekanan tinggi!
Cloudrake pun tumbang berhias lubang berasap di dadanya.
Satu hal yang terlintas di benak gw abis dikasih liat serangan dahsyat itu; yakin ini bocah kalah dari Elka?
Ah kesampingkan dulu, “HAH! Siapa yang kepancing sekarang, cundang!?” sangking girangnya, gw acungkan jari tengah sembari nendang-nendang onggokan besi gak bernyawa. Padahal yang ngalahin bukan gw lho.
Mein cuma menatap datar akan perbuatan gw yang gak tau diri. Bodo amat dah. Kesal sih abisnya, seenak jidat dikata belut.
Puas bacotin pengejar yang dari tadi ngotot benar pengen meringkus, gw beralih ke Mein, “Jadi … gimana bisa lu kalah- UGH!” Tapi tetiba kedua kaki gw mulai terasa bergetar. Perlahan tapi pasti, sakit mulai kembali pulang.
Gw meringis kesakitan dan terduduk sembari meremas kedua kaki yang kian lemas. Ke-kenapa nih? Apa efek penangkal sakitnya udah abis? Gawat. Otak gw langsung teringat pas lawan Gabber, sakit tetiba datang keseluruhan. Dan itu rasanya gak bakal bisa ketahan. Sekarang gw jadi panik sendiri ketika berpikir harus menanggung nyeri.
Liat gw tahan sakit, Mein melayang mendekat. Matanya yang masih terbungkus nyala api merah telusuri tiap jengkal badan gw yang dipenuhi luka. Dia hendak letakkan telapak tangan di dahi gw dan mulutnya mulai merapal sesuatu yang gak terdengar sama sekali.
“Tu-tunggu, tunggu, tunggu!” Ini pasti mau dibakar lagi, kan!? Maaaak! Mati awak! Kali ini pasti terasa, dan gw belum siap mental untuk hadapi itu lagi!
Namun belum juga tangan berapi itu sampe dahi, seseorang menghantam perut Si Wizard dari samping! Gw yakin, pukulan itu amat keras sampe sanggup bikin raut kaget terukir di wajah Meinhalom dan membuatnya berlutut seraya remas perut. Gw pikir siapa, ternyata sosok itu adalah perempuan yang gw kenal terlampau baik.
“Elka?” Panjang umur. Ada perasaan senang pas tau dia baik-baik aja, namun keheranan lebih mendominasi saat ini. Gw tercengang menatap tindakannya yang semena-mena, “lu gak perlu mukul sekeras itu. Dia gak ada niat membahayakan gw,” mungkin Elka tau-tau mukul gegara liat keadaan gw yang luka separah ini dan Meinhalom yang tampak mau perparah keadaan.
Entah kenapa gw merasa kayak lagi ngomong sama candi. Gak ada satupun respon dari mulutnya, bahkan omongan gw seperti gak terdengar.
Mata ungu membulat makin lebar pas Elka justru menarik keluar handgun kesayangannya dari inventori 4 dimensi dan dengan ekspresi dingin menembak kepala Meinhalom yang perlahan mau berdiri … DAR! Syok teramat berat sekejap membanjiri dada sampe gak tau harus gimana ketika tubuh Si Wizard api tersentak lalu lunglai di hadapan gw.
Di- dia … yang udah menolong gw berkali-kali. Yang tanpa pamrih menyelamatkan gw dari kematian … citra wajah polos Meinhalom serta ekspresi tatapan sayu ciri khas pas masuk mode tempur berkelebat silih berganti di depan mata. Dan di sinilah gw gak bisa berbuat apa-apa untuk sekadar balas budi.
Demi apapun, gw gak kuasa bendung emosi yang memuncak, “ELKAA!” gw tau yang gw bentak itu Elka, dan sebenarnya gw paling anti bentak dia. Tapi apapun alasan di balik tindakannya, hal itu benar-benar gak bisa gw terima! “KENAPA LU PECAHIN KEPALANYA, KA!? HAH!? SALAH APA DIA!?”
Masih gak terdengar ada balasan. Dia cuma menatap tubuh korbannya sebelum melirik gw tajam dari sudut mata coklat itu. Gw berusaha bangkit walau sakit di badan makin kental terasa. Apa … apa yang lagi gw saksikan ini? Elka emang prajurit kuat dan punya jiwa pemberontak, tapi gw berani sumpah, dia bukan pembunuh sesama bangsa!
“JAWAB, WOI! SEJAK KAPAN LU JADI BISU!?”
Elka berbalik menghadap gw dan berakselerasi! Tangan kanannya lihai menangkap leher gw dan meremas dengan kuat. Gw coba mati-matian buat berontak, tapi kemudian tangan kirinya juga ikutan. Gw cuma bisa pegangi kedua lengan wanita ini yang makin menekan saluran pernapasan. Astaga, dia beneran niat bunuh gw kalo gini caranya!
“E-Elka … ini gw,” di tengah cekikan, gw belum putus asa buat sadarkan dia dari kegilaan, “apa lu … gak kenal-“
Pertanyaan itu gak sempat selesai udah keburu diberi hadiah satu dorongan keras ke dinding tebing di belakang, “UFFT!” seakan emang ditujukan buat bungkam mulut gw. Belum puas, dia lanjut membanting badan gw ke tanah sambil pertahankan kuncian leher, “Ah- Ahakh! Uhhk! HUFK!” gw benar-benar kehilangan kebebasan mengakses udara.
Tangan gw cuma sanggup mendorong wajah dan tangan Elka, berharap cekikannya meregang. Kaki gak henti-henti meronta di bawah sana. Tapi sia-sia, tenaga gak ada seujung kuku. Pandangan di sekeliling gw mulai diselimuti warna putih, sampe warna putih itu makin tertuju ke tengah dan menutup wajah perempuan yang sebelumnya pengen banget gw liat untuk terakhir kali.
“We are not war machines, Khortenio. Doesn’t matter how strong, in the end we’re just Bellateans with one heart.” – Rentogarp (Ch. 42)
CHAPTER 56 END.
Next Chapter > Read Chapter 57:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-57/
Previous Chapter > Read Chapter 55:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-55/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list