LAKE CHAPTER 57 – SOS 12: BEATEN UP

Lake
Penulis: Mie Rebus
Gw masih ingat saat pertama kali ketemu Elka, seakan baru terjadi kemarin.
Waktu itu gw dan Paman Ren baru aja pindah dari hidup di tengah hutan Alcatra ke sebuah tempat hampir dekat dengan Kota Yazpen di Planet Bellator. Gak begitu ingat apa alasan Paman putuskan buat pindah rumah. Kalo gak salah biar gak terlalu jauh dari kota dan gak jauh dari komunitas masyarakat, katanya.
Dia suka khawatir tinggalkan gw sendirian di tengah hutan pas harus belanja kebutuhan-kebutuhan khusus atau berburu atau mancing. Kayaknya tanggung jawab harus hidupi satu lagi anggota keluarga juga jadi faktor penentu. Padahal biar ditinggal sendiri pun gw mah santai aja ya kan.
Sekian tahun hidup terisolasi di hutan agaknya ada sisi menguntungkan juga. Paman Ren kerap ajarkan kemampuan dasar bertahan hidup mulai dari berburu, berkebun, ngurus rumah, nyari tanaman obat, dan perawatan awal bila terluka. Banyak hal bermanpaat, cuman ya gitu. Gw suka lebih milih gak gubris dan anggap semua itu ribet dan susah. Ya namanya masih bocah, umur aja masih di bawah lima.
Walau sebenarnya, ajaran dari Paman beberapa ada yang masih nyangkut di kepala. Itulah kenapa di akademi gw gak goblok-goblok banget untuk urusan bertahan hidup.
Siapa yang tau, kan? Dulu gw kira Paman Ren sekedar orang tua yang bisa berbagai macam hal gegara puluhan taun menjomblo. Eh sekarang pas gw tau dulunya dia seorang anggota kemiliteran, semua mulai masuk akal. Pantesan dia begitu piawai lagi cekatan.
Untungnya Paman Ren bukan orang yang keras dalam didik anak. Cenderung santai malah. Jadi liat keponakannya gak pedulikan ajaran, dia gak terlalu maksa untuk harus bisa semua itu.
Baru deh pas masuk akademi gw menyesal gak perhatikan ajarannya lebih seksama. Hmm, kalo udah terlahir dengan sifat super malas, apa mau dikata.
Rambut kelabu gw selalu dicukur Paman Ren supaya gak terlalu lebat dan panjang, bisa menarik perhatian soalnya. Dan udah gitupun kalo jalan ke kota kepala gw selalu ditutup topi. Pas lagi temani Paman Ren beli perkakas rumah tangga, di depan sebuah toko tanaman dekat situlah gw liat sesosok gadis berambut coklat lagi berdiri menatap pohon blueberry penuh kekaguman. Sosoknya tampak lucu dan imut apalagi dengan baju terusan hijau tosca melekat di badan.
Gw gak terlalu paham apa yang istimewa dari pohon blueberry di hadapannya, yang begituan mah udah sering liat di hutan Alcatra. Eh, terus tau-tau gadis kecil itu buka mulut dan langsung nyaplok buah beri biru yang bergelantungan. Wuedan gak pake tangan.
Makin gak paham jalan pikiran ini bocah. Dan kesan pertama yang nyangkut di otak gw kala itu adalah; kok gini?
Perasaan nih ya, orang normal kalo mau makan buah dari pohonnya tuh mesti dipetik dulu. Pake tangan. Abis itu baru dimakan. Lah ini lepas tangan udah kayak naik sepeda gaya bebas. Tapi muka anak itu terlihat amat bahagia sampe gak tega mau ketawain kelakuannya.
Sepertinya dia sadar lagi ada yang nonton sedari tadi. Karena gadis kecil itu menoleh ke arah gw yang masih terpaku tepat di sebelah.
Dengan mulut cemong ungu sampe ke baju terusan hijaunya ikut ternoda di sekitar leher, dia tersenyum ceria seraya sodorkan beberapa butir beri biru, “Mau?”
Terdiam sejenak sembari telusuri telapak tangan kanan mungil yang terbuka, lalu mendadak gw caplok juga ikuti gayanya.
Gadis itu kaget, langsung tarik tangan supaya gak ikut kemakan. Dia menatap horor sambil elus-elus tangan kesayangan yang hampir tergigit orang asing lalu bertanya keheranan, “K-kok … kamu aneh?”
Alis gw terangkat sebelah. Mulut selagi ngunyah berusaha bicara, ” ‘Kan ajaranmu.”
“Ih, cuma aku yang boleh kayak gitu. Kamu jangan. Nanti bibirnya jontor.”
“… Terus kalo kamu yang begitu, gak bakal jontor?”
“Aku udah kebal,” ujarnya bangga sambil tepuk dada, “Elkanafia Yeve Nordo. Nenek biasa manggil aku Elkanafia.”
Gw yang masih sibuk ngunyah hadiah pemberiannya cuma menatap muka polos tersebut, “Itu namamu?”
Dia mengangguk kecil.
“Panjang amat,” respon gw membatin. Gak tega buat dia menunggu lebih lama, gw ikutan tepuk dada. Lagi-lagi tiru gayanya, “Lake.”
“Kok nama kamu pendek? Gak kayak aku?”
Kedua bahu gw terangkat, “udah dari sananya,” sebenarnya ada alasan lain. Paman Ren getol banget ingatkan gw supaya gak beri tau nama belakang pada orang yang baru dikenal. Tapi tentu gak mungkin gw beberkan alasan itu padanya.
Gadis kecil itu pasang ekspresi putar otak keras-keras. Entah apa yang lagi dipikirkannya, “Okey, kalo gitu mulai sekarang aku mau dipanggil Elka. Biar sama-sama pendek.”
Aneh. Tapi gw yakin dia anak baik. Cara berinteraksinya agak gak biasa, tapi cukup bagi gw untuk tertarik jalin hubungan pertama dengan orang di luar keluarga. Sejak saat itu, kami sering main bersama. Ternyata rumah neneknya di pinggiran kota juga. Emang masih agak jauh sih dari Rumah Paman Ren, tapi masih bisa terjangkau langkah anak kecil. Paman Ren yang sadar kalo gw punya teman baru, gak buang waktu lama buat kenal Elka lebih jauh. Dan seringkali kasih Elka blueberry yang dia tanam sendiri.
Gw suka banget liat ekspresi wajah Elka tiap makan blueberi walaupun bisa dibilang kayak orang blo’on. Bahkan sampe kita beranjak dewasa pun, ekspresi itu gak berubah. Liat kebahagiaan terpancar dari muka manisnya selalu sukses mengirim gw kembali ke masa-masa waktu kita pertama kali ketemu.
Itulah kenapa, garis wajah dingin saat tangannya remas batang leher sangat gak bisa gw percaya. Kenapa? Apa salah gw? Apa gegara tindakan gw yang bikin dia marah sebelumnya? Iya, pasti gegara itu. Tapi … apa cuma karena itu gw pantas mati?
Semua pertanyaan berputar di kepala tanpa bisa terutarakan, sedangkan pandangan gw makin memutih dan sampe hampir gak keliatan apapun.
Sosok mungil berambut pink bergerak cepat dan menampar wajah Elka pake tangan berbalut api dari belakang! “Heatshackle,” Letusan langsung tercipta begitu tamparan terjadi, cukup kuat buat bikin Elka terpental dari atas badan gw. Tali api terhubung dari tubuh si penampar dan si Infiltrator.
“Ahakh, uhk!” Rasa lega langsung memenuhi sistem pernapasan. Pandangan gw perlahan tapi pasti kembali normal biarpun masih pusing.
Gw udah gak tau lagi apa yang terjadi, Mein … masih hidup! Apa mata gw menipu sebelumnya!? Gimana mungkin ada orang yang bisa bertahan dari tembakan tepat di kepala!? Tapi … luka di kepalanya masih ada. AAH! Gak tau ah!
Selagi tali api masih terhubung antara dua wanita itu, Mein hujani sang lawan dengan mantra api, “Fireflies; Reign of Flames,” seiring serangan mantra terus masuk pada badan si infiltrator, getaran energi keliatan menjalar sepanjang tali api dari tempat Elka menuju tubuh Mein, pulihkan luka-luka di seluruh tubuh si perapal mantra secara cepat.
“A-ARGH!” rasa sakit lebih parah datang hampiri sekujur badan kali ini. Pekikan gw aja udah kayak orang sekarat, hampir gak terdengar akibat tenggorokan yang serasa nyaris hancur gegara cengkraman kuat Elka.
Dari balik gumpalan asap dan jilatan lidah api, perempuan berambut coklat pendek bangkit. Belah asap dan berakselerasi menuju Meinhalom! Entah gimana cuma sedikit luka bakar yang terukir di badannya. Selagi lari, tubuhnya terkamuflase lingkungan sekitar, seakan transparan untuk beberapa detik.
Sebenarnya gak benar-benar transparan, masih bisa dideteksi karena masih ada pergerakan riak kayak bensin yang terekspose udara. Tapi itu cukup bikin Mein kerepotan ikuti pergerakannya, alhasil tangan Elka mampu gapai wajah Meinhalom dan tanpa ragu lempar tubuh sang lawan menuju tebing berbatu. Benturan antara tubuh Wizard mungil dan batuan sampe sanggup retakkan tebing tersebut.
Untuk kesekian kali gw coba berdiri, manpaatkan busur di tangan sebagai penyanggah. Kesampingkan seluruh rasa remuk yang ada, meski kaki dan tangan gw gemetar hebat.
Elka masih terus melesat dekati tubuh Mein yang bersarang di tebing dan bombardir Mein dengan tendangan serta pukulan. Debu-debu dari serpihan tebing kembali terangkat dan bikin pandangan gw terhalang. Itu berlangsung beberapa menit sampe akhirnya terdengar rapalan mantra, “Jetstream,” yang lagi-lagi bikin Elka harus terlempar jauh ke belakang.
Edan! Gak ada hentinya saling bikin lawan terpental dari tadi.
Mein keluar dari ceruk tebing tempatnya dihajar habis oleh Elka. Untung gak jadi dadar gulung tu bocah. Walau mantra transformasinya masih aktif, Si Wizard udah sempoyongan. Darah mengalir dari mulut dan dahi dengan napas menggebu. Sebelah matanya mulai memar, api di rambut masih menyala, namun perlahan redup. Kaki kembali menapak tanah, mantra penyembuhan diri sendiri dari tali api yang sempat dilakukannya tadi seakan gak pengaruh apa-apa.
Tapi dia gak keliatan bakal nyerah di sini. Ugh! Mereka harus dipisahkan, kalo gini terus bakal beneran ada yang mati!
Untaian segilima yang mengorbit di punggungnya terbagi, melayang anggun menuju sepanjang dua lengan, “Destructo …” dua cakram api terbentuk di atas kepala, “Disc,” dengan sisa tenaga yang susah payah terkumpul, Mein lempar cakram api bergerigi tersebut secara bergantian.
Si Wizard langsung jatuh berlutut usai lempar mantra. Sayang, upaya terakhir itu gak berbuah hasil maksimal. Tanpa kesulitan berarti, Elka sukses hindari terjangan cakram berapi. Cuma liukkan tubuh penuh ketenangan bahkan tanpa harus pindah pijakan kaki. Sialan. Kenapa sih dia harus begini jago urusan kelahi?
“Hahaha,” gelak tawa pecahkan suasana. Seorang yang pake jubah hitam di badan cegah Elka untuk nyerang lebih lanjut, “hebat ‘kan Yelanaku?” luka sabetan berupa dua garis diagonal terpahat di wajahnya.
A-apa? Siapa lagi sekarang?
“Kalian tau, anggaplah ini sebagai ajang pamer kekuatan. Peringatan, mungkin. Kami hanya ingin kalian sadar, yang kalian lawan barusan baru satu. Bayangkan, bagaimana bila dua … tiga … lima … ?” ujarnya. Seringai kesombongan terpatri di muka, “Bagaimana, Yelana? Apa kamu sudah puas menghajar mereka?”
Yelana? Siapa yang dia panggil Yelana!?
“Dia … dia bukan punya lu,” apa-apaan ini orang? Cih, siapapun nama yang dia sematkan pada Elka, gw gak bisa terima! “Dia tawanan gw,” suara gw masih terdengar lemah.
Perkataan barusan bikin dia berpindah tempat ke hadapan gw dan langsung merenggut dagu! “Tsk, tsk, tsk, dengar baik-baik, anak haram. Kamu pikir kamu kenal dia, kamu pikir kamu tau apa yang dia mau, tapi sebenarnya semua berlawanan dari apa yang kamu pikirkan. Yelana, kamu dengar apa yang dia katakan, ‘kan? Dia menganggapmu tawanan,” begitu enteng dia ayun tangan sampe bikin gw terlempar. Akibat tenaga pria itu, gw harus tersungkur di hadapan kaki Elka, “dia menganggapmu tak berdaya. Kasih tau dia, apa yang kamu bisa.”
Elka jambak rambut kelabu dan maksa untuk berdiri. Gw gak punya pilihan selain angkat lengan depan wajah, pasang kuda-kuda bertahan pas liat dia mendekat, lancarkan pukulan bertubi yang disisipkan tendangan serta serangan lutut. Ka … lu diapain sama dia sampe tega gebukin gw kayak gini? Bukannya lu sendiri yang pernah bilang gak bisa liat gw bersimbah darah?
Tentu mulut gw udah gak sanggup bersuara untuk sekedar tanya. Pusing. Akhirnya karena gak kuat dihantam terus, gw coba tangkap erat tubuhnya macam petinju yang udah kehabisan tenaga, berharap dia bakal berhenti. Tapi dia mendorong buat lepas dari gw dan itu justru bikin gw tersungkur plus dapat hadiah satu tendangan keras tanpa ampun tepat di perut pas lagi terkapar di tanah.
Faak. Kenapa sih gw harus melalui semua ini? Dari kecil gak ada habisnya dihajar orang. Kalo emang semua pengen gw mati sampe segitunya, ya udahlah, bunuh aja sekalian. Gak usah nyiksa pelan-pelan.
“Tsk, ayolah. Kalau cuma segini kekuatan keturunan terakhir Grymnystre, buat apa kami susah payah sempurnakan proyek Reaper?” kata pria itu remeh, “Kamu mestinya paham kesulitan kami. Kreasikan prajurit yang mampu imbangi kemampuan garis keturunan kalian itu sungguh merepotkan. Bukankah kamu harusnya punya kemampuan di luar batas? Bukankah kamu cinta bertarung? Bukankah kamu terlahir sebagai monster yang selalu bawa kehancuran?”
Racauan gak jelas terus meluncur dari mulutnya, sedangkan gw sama sekali gak minat balas.
Mata gw coba telusuri sosok wanita yang udah gw anggap teman hidup, coba cari setitik asa dari perbuatan gak masuk akalnya. Rapuh, pedih, lelah. Mungkin cuma itu yang bisa terpancar. Kesadaran yang udah hampir tercabut dari raga bikin penglihatan gw makin samar.
Tapi ternyata dari sudut mata coklat itu masih keliatan. Ada setitik, ya, walau cuma setitik, ada kilau refleksi air di sana.
“… Sakit. Kamu … penyebabnya,” untaian kata yang pertama kali diucapnya sejak pertama kali datang dan membabi buta berhasil buat mata ungu gw melebar, “takut … padahal kamu di sana. Kamu misi yang harus terlaksana.”
Otak gw sama sekali gak bisa cerna makna di balik tiap kata. Udah terlalu mumet lagian buat mikir, tapi tetap terngiang. Gw penyebabnya? Sakit apa yang dia maksud? Takut? Apa yang ditakutkan prajurit hebat macam dia?
“Cebol! I-itu … bukannya itu …!?”
Black Goliath Royal Oritzi yang kondisinya penyok kiri-kanan, Faranell, dan seorang prajurit Ranger dari Divisi Artileri menghadang mereka, “Dua prajurit tumbang dan salah satu di antara mereka adalah Captain Lake Grymnystre. Perintah untuk evakuasi Captain Lake Grymnystre sedang dalam proses, butuh bantuan secepatnya, MAU saya alami kerusakan tingkat menengah setelah lawan Linkbuster.”
Faranell keliatan sangat gak percaya pada pemandangan di depan mata. Pada siapa yang baru aja gw lawan.
Si Ranger memapah gw yang tersungkur di tanah dengan agak kasar. Di tangan kirinya tergenggam sebuah crossbow hitam metalik, sedangkan wajahnya gak terlihat jelas karena mata gw yang udah makin remang-remang juga. Bentar lagi juga pingsan nih kayaknya.
“Harus berapa kali sekarat, Uban?” Oh, dia ternyata, “menyedihkan amat sih lu, dihajar pacar sendiri,” siapa lagi yang bisa komentar sepedas ini padahal gw bentar lagi mampus kalo bukan Hash’Kafil?
“Hmm, belum kapok babak belur,” celetuk pria berjubah hitam itu, “baik, kita selesaikan secepatnya,” matanya melirik Elka.
Pas baru selangkah mereka melesat, pria dengan luka sabetan senjata tajam di wajah tersebut berhenti dan kasih isyarat tangan agar Elka ikut berhenti juga. Padahal Faranell, Royal Oritzi, dan Hash’Kafil udah bersiap sambut serangan.
Setelah hela napas, pria itu bilang, “Sepertinya ini akhir kesenangan kita, ya?” Kami terheran akan perkataannya, “kalian boleh simpan anak haram itu. Lagipula pesawat kami sudah ada penumpang ekstra … untuk sekarang,” kemudian dia jentikan jari, “ayo Yelana, besok lagi.”
Tanpa ada perlawanan, tanpa ada bantahan, Elka balik badan lalu ikuti langkah pria itu pergi. Sebuah pesawat transport ukuran kecil langsung terbang rendah dan membuka palkanya. Dari dalam … Vednala … jadi begitu. Mereka sekongkolan. Perempuan yang sebelumnya gw lawan bareng Faranell tersebut ulurkan tangan untuk bantu mereka naik.
“Perempuan pintar,” ujar pria itu sembari kecup pipi Elka! Dengan tatapan merendahkan, mata itu tertuju ke gw diiringi satu seringai penghinaan!
FAAK! Bajingan!
Tangan kiri gw berusaha raih sosok Elka walau tau gak bakal mungkin bisa mencapainya dari sini. Gw lepaskan diri dari papahan Hash’Kafil, pengen rebut Elka kembali. Tapi baru juga selangkah, badan gw ambruk. Hahah, bahkan berdiri aja gak bisa. Menyedihkan. Emang kata itulah yang tepat disematkan ke gw. Gak bisa kalo gak ditolong orang.
Vednala yang tubuhnya masih dibalut perban berhias bercak darah segar sempat menatap Faranell tajam seraya kasih isyarat menyayat leher sendiri kala pesawat transport kecil yang mereka naiki mulai lepas landas vertikal.
“… Gw gak tau apa yang terjadi sama Pacar lu, tapi mau ngapain lu dengan badan penuh luka begitu?” Hash’Kafil berkata sambil mendekat, “harusnya lu diam dan biarkan gw bawa lu kembali. Sebelum gw berubah pikiran dan biarkan lu mati di sini,” Shite. Mau gak mau, gw harus telan mentah-mentah perkataan Hash, “lu juga, Penyihir. Jangan mikir berontak kalo kepala lu gak mau berlubang,” tatapan sayunya pindah ke Faranell yang sekedar mengangguk lesu.
Akhirnya, gw dipapah menuju koordinat Brigade Support berada untuk dapat perawatan lebih lanjut. Kesadaran gw ada di batas antara pengen pingsan atau tetap bangun. Hash’Kafil keliatan gak mau banyak bicara, padahal mata hitam terus-terusan mengunci gw dengan tatapan sayu ogah-ogahannya itu.
“… Mundur bukan berarti kalah, Uban. Camkan itu di otak kopong lu,” kata Hash’Kafil, “dihajar Nordo itu wajar.”
Pala lu wajar.
Tapi … iya juga sih.
“HEEI! PILOT KEPARAT!” Teriakan suara seonggok prajurit Kekaisaran mengejutkan kami, “Mau ke mana lu, HAH!? Lu pikir urusan kita udah kelar!?” Linkbuster yang keadaan zirahnya gak bisa dibilang baik, bentak-bentak Royal Oritzi. Edan ini robot. Udah compang-camping gitu masih aja mikir gelut. Terus dia nunjuk gw pake sebelah tonfanya, “dan lu! Tetap di tempat, bajingan kecil! Gimanapun caranya, gw ak-“
JEDUM!
Tau-tau daratan tempat Linkbuster berpijak meledak kena serangan udara dan bikin tubuh logamnya terpelanting. Mampus, dipotong lagi omongan tu besi rongsok.
Kami tengok ke atas, penasaran siapa yang lancarkan serangan misil. Pasukan induk Armada udara dengan lambang Aliansi Suci perlahan pamerkan wujudnya dari kamuflase langit. Bikin Accretia dan Bellatean yang lagi tempur sama-sama kaget dan gak nyangka bakal ada pihak ketiga yang telat datang ke pesta.
Pesawat raksasa itu melayang dalam kecepatan pelan, sesekali tembakkan misil dan gumpalan bola api besar ke daratan untuk amankan situasi pendaratan. Pasukan Federasi dan Kekaisaran langsung tercerai-berai dari pertarungan masing-masing, gak terkecuali Maximus Gatan dan Maximus Izcatzin, demi terhindar dari bombardir pasukan Aliansi.
“Cih, mau apa coba?” gerutu Maximus Gatan.
“Minta dibredel juga ya, orang-orang sok cantik itu!?” sambung Maximus Izcatzin geram.
Begitu pesawat induk tersebut mendarat, palkanya terbuka dan menyentuh tanah. Dari dalamnya keluar batalion prajurit Aliansi Suci yang rupawan luar biasa.
Di antara mereka adalah seorang wanita sangat cantik berambut ungu tergerai. Wajahnya … setipe dengan Faranell tapi dengan garis muka dan tatapan mata lebih tegas. Di samping wanita itu ada seorang Templar yang begitu gagah berambut pirang emas sebahu.
“O-oh, astaga,” gw dengar suara Faranell tercekat di tenggorokan pas liat wanita itu. Mukanya tampak khawatir gak karuan.
Batalion Pasukan Aliansi langsung sigap buka jalan, singkirkan prajurit federasi maupun kekaisaran dari hadapan mereka. Seakan gak peduli kepada siapa Aliansi akan berpihak, mereka menggerus dua belah pihak yang udah kelelahan akbiat pertempuran sekaligus.
Corite berambut ungu yang baru datang bersama dengan ajudan Templarnya mendekat pada Maximus Gatan. Begitu juga pemimpin pasukan Kekaisaran yang sebelumnya tarung lawan dua Wakil Archon kami, Darkmaul. Ketiganya berdiri saling berhadapan.
“Ngapain lu di sini?” tanya Maximus Gatan ketus.
“Begitukah caramu menyambut tamu, Wakil Archon yang terhormat? Dasar barbar,” respon si rambut ungu gak kalah ketus tapi tetap dengan bahasa formal. Oh, dia pakai jade talk. Pantas gw paham apa yang dia bilang.
Darkmaul buka suara, “Jangan bilang kalian ke sini buat cari perkara, Corite.”
“Jangan samakan kami dengan makhluk tak beretika macam kalian. Fungsi otak kami masih normal,” tukas Si Corite tetap tenang dan terkendali, “aku mau kalian hentikan pertikaian tak berguna ini, dan berikan apa yang kami minta.”
“Apa?” Tanya Maximus Gatan.
“Kami ingin kalian sukarela kembalikan dua personil Aliansi Suci yang berada di tengah-tengah kalian. Mudah, ‘kan?”
Maximus Gatan sigap geleng kepala, “Lu tau kami gak bisa memenuhinya, Nephtali. Sebelum kami interogasi mereka dan mengorek informasi sebanyak-banyaknya.”
Wanita Corite itu terdiam.
“Hah! Jangan pikir kalian bisa seenaknya datang dan minta ini itu, penyihir sok alim!” ledek Izcatzin sambil todongkan sebelah senapan mesinnya pada Si Corite wanita, tapi tetiba sebuah tebasan kilat sukses bekukan sebelah lengan MAU Maximus Izcatzin tanpa kesulitan! “A- HEI!” Si Tante jelas kaget bukan kepalang tangan MAU-nya mendadak hilang diiringi serpihan kristal es halus.
“Cukup, Ayzan,” perintah Si wanita Corite pada ajudan Templarnya yang seakan berpindah tempat ke hadapan MAU Catapult merah.
Templar berambut pirang emas itu kembali sarungkan pedang panjang pipih yang terbalut asap putih.
Ba-barusan itu … gerakan edan. Begitu cepat dan luwes. Pedangnya sanggup membelah logam dengan potongan yang teramat rapih lagi bersih.
“Jangan berlagak!” Darkmaul yang gak terima sikap arogan wanita corite itu langsung layangkan serangan palu tepat ke muka!
Tetiba iris jingga perempuan itu menajam, Force dalam jumlah besar menyeruak gak beraturan dari tubuhnya, bikin udara ikut terkompresi tekanan Force yang begitu padat.
Lingkaran sihir merah kejinggaan tercipta di hadapan wanita itu, dan menangkis palu yang menerjang! Seketika senjata berat milik Darkmaul langsung tercerai-berai sampe tingkat partikel atom!
Kali ini banyak lingkaran sihir bercahaya kuning keputihan terbentuk bersamaan di sekitar Prajurit Kekaisaran berzirah hitam tersebut, “Volt,” dan langsung hujani Darkmaul dengan tombak-tombak petir yang luar biasa banyak! Zirah pemimpin pasukan Kekaisaran itu tertembus mantra elemen badai dengan mudah, membuat sirkuit listrik dalam badannya overload dan meledak kecil, sukses matikan pergerakan si Accretia dalam sekejap.
“Saat kubilang berhenti, baiknya kalian berhenti,” tongkat wanita itu berpindah pada Maximus Gatan yang dari tadi diam. Seketika para Prajurit Federasi di sekitar mereka sigap siagakan senjata di tangan masing-masing pada Corite wanita itu!
“Tahan tembakan,” instruksi tenang Maximus Gatan berhasil bikin bawahannya yang udah geram gak jadi nyerang, “turunkan tongkat lu. Gw bahkan gak bergerak sama sekali,” ujarnya sambil tepikan tongkat si Corite pake sebelah pedang.
“Bijak. Kamu belum berubah,” kata Corite yang dipanggil Nephtali. Sesimpul senyum terpatri di bibir sensualnya.
“Gw tau lu bisa hancurkan dua pasukan besar sekaligus,” respon Maximus Gatan, “gak perlu pamer.”
“Kalau begitu kamu cukup bijak untuk penuhi permintaanku ‘kan, Gatan?”
“Udah gw bilang … gak bisa.”
Lagi-lagi Force merembes keluar dari Si Corite. Gumpalan awan badai berlistrik langsung bergumul di atas kepala kami, ditambah lingkaran sihir merah kejinggaan yang seakan terbakar api abadi, “… Kupikir kamu bijak.”
“Hormat gw memang buat lu, Nephtali. Bukan berarti gw takut,” tukas Maximus Gatan seraya betulkan kuda-kuda berpedang ganda.
“Kakak! Stop!” Pekik Faranell panik sambil lari tergopoh-gopoh.
Kakak … ? Si kunyuk! Udah gw duga ada yang gak beres dari kemiripan mereka!
Tangan Faranell cengkram bahu Sang Kakak untuk cegah dia supaya gak lagi keluarkan mantra penghancur, “Aku bakal ikut pulang. Tolong … jangan sentuh mereka lagi.”
Nepthali cuma menatap tajam adiknya beberapa saat, lalu menepak tangan Faranell agak kasar, “Jauhkan tangan kotormu. Kamu tak berhak banyak minta setelah apa yang kamu lakukan. Ayzan, bawa Qhadara muda itu kembali ke armada.”
Beberapa saat Faranell terpaku di tempatnya berdiri, tertinggal agak jauh di belakang sang kakak. Tertunduk seakan gak ingin wajahnya diliat siapapun. Dia lagi berpikir. Mungkin.
Kakak yang sadar adiknya gak melangkah sedikitpun terhenti dan bertanya, “Apa yang kamu tunggu? Cepatlah.”
Kemudian keluar kalimat yang bikin jantung semua orang nyaris lompat ke luar, “Aku akan ikut pulang … asal kita bawa dia,” telunjuknya terarah mantap.
Ke … siapa lagi kalo bukan gw?
“Apa!?” pekik Maximus Izcatzin.
Nephtali balik badan dan mulai dekati Faranell, “Dengarkan aku, adik dungu. Keadaan sudah runyam akibat kecerobohanmu. Terlalu jauh libatkan diri dalam hal yang tak semestinya kamu campuri, dan sekarang ajudanmu yang akan terancam terima hukuman karena kelalaiannya mencegahmu berlaku bodoh. Tak berhenti menyeret orang lain terjerat dan terluka supaya keinginan kekanakanmu terpenuhi. Apa kamu tak belajar berpikir sebelum bertindak?”
“Aku gak belajar karena gak pernah dikasih kebebasan untuk itu. Bukannya Kakak sendiri yang bilang, udah waktunya aku bertanggung jawab atas jalan yang kupilih? Ini masalahku, Kak. Aku yang putuskan untuk berada di sini dan bertarung. Aku yang putuskan untuk berusaha selesaikan ini, dan dialah kuncinya. Jadi jangan harap kakiku bakal melangkah walau cuma sesenti, aku gak akan ke mana-mana sampe kamu setuju untuk membawanya.”
Argumen sengit yang diutarakan Faranell sempat bungkam Nephtali sejenak. Perempuan cantik bersih binti bening itu menelisik gw tajam dalam diam, lalu berujar, “… Katakan satu alasan yang berbobot.”
“Dia Grymnystre,” jawab Faranell pelan, nyaris berbisik supaya gak didengar khalayak ramai.
Mata jingga Nephtali balik menatap mata kuning adiknya sambil bilang, “Ayzan, serahkan Qhadara muda pada prajurit lain. Bawa serta Bellatean itu dan segera pergi dari sini.”
“Kalian keterlaluan, Corite! Udah gw bilang kami gak akan serahkan prajurit kalian, sekarang kalian minta prajurit kami!? Tau diri sedikit!” Bentak Maximus Gatan.
Pertingkaian kembali gak terhindarkan ketika Maximus Gatan dan anak buahnya buka serangan, membuat para Prajurit Aliansi siaga bertahan dan lakukan apapun untuk lindungi Nephtali.
Otak gw coba proses segala hal yang terjadi di depan mata, gimana keadaan pasukan federasi yang udah compang-camping tentu gak sepadan bila harus bentrok langsung lawan prajurit-prajurit Aliansi yang masih keliatan bugar dan siap tempur.
Sesosok Templar berambut pirang emas melesat gesit di antara kekacauan. Hash’Kafil sadar akan hal tersebut dan dia menarik gw ke belakang. Urat di tangan gw terasa nyaris putus gegara gerakan Hash’Kafil, tapi dia mah mana peduli.
Ranger berambut hitam todongkan crossbow di tangan kanan dan sempat menembak beberapa kali. Cuman sayang, walau susah dipercaya, tembakan Hash’Kafil dimentahkan begitu aja pake sabetan pedang pipih Si Templar.
Hash’Kafil dorong badan gw yang udah semaput ke samping saat tabrakan si Templar gak terhindarkan, alhasil nyeri di badan terasa lagi.
Pedang pipih itu langsung tertancap tanpa ampun di sebelah wajah Hash’Kafil. Andai dia gak tahan lengan Si Templar, tusukan tadi fix bisa lubangi wajahnya.
Kristal es terbentuk di sekitar tusukan tadi, dan itu bikin udara yang keluar dari mulut Hash’Kafil keliatan asap putih.
“Sist!” Sebilah pedang berukuran lebih besar meluncur deras, tapi Ayzan siap menangkis pedang tersebut. Namun karena tenaga lemparan yang cukup besar, dia sedikit terpental dari atas Hash’Kafil.
“Lama banget sih lu,” celetuk Hash.
“Ah, diamlah! Makasih atau apa kek gitu!” Jadi … Ish’Kandel yang datang sebagai pahlawan kali ini?
“Stop … jangan lawan dia. Pe-pedangnya … sakti,” ucap gw terbata.
Tapi Ish’Kandel malah nyeleneh, “Wow, Lake! Kenapa keadaan lu kayak mau mampus gitu!?” Ya iyalah, Kuya! Namanya digebukin dari sebelum pecah perang sampe sekarang! Apa yang lu harapkan!?
“The sky is beautiful. It’ll be even more beautiful, (Langit begitu indah. Bahkan bakal terlihat lebih indah),” tanpa peringatan, Si Templar berakselerasi tajam dan ayunkan pedang pada Bellatean kembar di hadapannya saat kami lengah, “when it’s frozen by the elegant swing of my blade (saat dibekukan oleh ayunan elegan pedangku).”
Mata gw melebar pas liat Hash’Kafil dan Ish’Kandel membeku gak berdaya. Luka sabetan di perut mereka tergores sempurna, dibalik armor yang ikut terhias kristal-kristal es berkilau.
Si Templar berdiri tegak di depan dua prajurit Federasi itu, dan bersiap habisi mereka dengan kuda-kuda tusukan.
“S-stop … stop,” kembali lirih kalimat yang keluar dari mulut gw. Seketika di otak gw terbayang wajah para prajurit yang mati di Solus, dan juga para kamerad yang harus menderita luka parah cuma buat saling bantu selamat dari maut, “tolong … cukup.”
Shite! Gw gak mau korban bertambah lagi! Ish’Kandel … Ish’Kandel baru aja sampe, bangsat! Masa Langsung mati gitu aja!? Gak lucu!
Tapi kayaknya Si Templar gak paham kalimat yang gw ucapkan. Dia tetap aja teguh pada pendiriannya.
Kampret! Ayolah, badan! Sekali ini aja! Berdiri sekali lagi! Gw mohon!
Begitu liat Si Templar lakukan serangan penghabisan, badan yang keadaannya udah gak karuan ini berhasil bergerak biarpun sakit di tiap jengkal syaraf bak ditombak berkali-kali. Gw banting pergelangan tangannya ke bawah supaya tusukan itu hujam daratan, lalu gw langsung ambruk lagi.
“Lakukan apa yang kalian mau … bawa gw, apapun. Tapi … gw mohon … cukup,” napas gw terengah pasrah.
Bodo amat dah dia ngerti apa kagak.
“… That was pretty rare for a Bellatean (tindakan barusan cukup langka bagi Bellatean),” dia bilang. Pedang dingin berasap putih itu disarungkan kembali. Dia memanggul badan gw di bahu tanpa kesulitan berarti, “I want you to remember my name; Lavin-Ayzan Qhadara. May someday Decem bless you (Aku ingin kamu ingat namaku; Lavin-Ayzan Qhadara. Semoga suatu hari nanti Decem memberkatimu).”
Ngomong apa sih lu, tong?
Terlalu banyak yang lalu-lalang di pikiran gw saat ini. Belum usai kepikiran tentang Elka yang dibawa kabur, sekarang malah gw ikutan dibawa kabur prajurit Aliansi.
Entahlah, mungkin ini salah satu cara paling memungkinkan bagi gw untuk sedikit berkontribusi, sebagai rasa terima kasih juga pada Maximus Gatan yang terlampau bernyali.
Mata ungu gw telusuri Solus untuk terakhir kali, pengen liat seperti apa keadaannya saat lagi-lagi gw harus tinggalkan pasukan di tengah pertempuran.
Kawah menganga akibat serangan Nuke Accretia, hangus serta bekas radiasi yang masih segar di sekitarannya, bikin permadani hijau solus gak lagi hijau. Berlumpur, di beberapa titik tandus seketika. Sejumlah unit MAU yang rusak onderdil dan bagian senjata, serta kepulan asap yang keluar dari kokpit. Pasti mahal tuh biaya reparasinya.
Onggokan prajurit Kekaisaran yang bergelimpangan, darah, dan air mata prajurit Federasi yang gak lagi bisa dibedakan.
Maximus Gatan harus terhempas akibat mantra Nephtali. Biarpun dua pedang kembar masih tergenggam erat di tangan, dia udah kehilangan banyak darah gegara skillnya sendiri, Blood Dance, sebelum ini. Wajar kalo Wakil Archon mungil itu di ambang batas.
Tante Izcatzin? Gak usah ditanya, Catapult merah si tante tertancap banyak benda tajam dan lubang peluru. Pintu kokpit terbuka dan Terlihat Maximus Izcatzin alami luka sobek lumayan dalam di bahu kirinya. Ajaib, masih bisa selamat dia.
Maap, Maximus. Padahal … anda dan kamerad lain bertempur demi saya. Demi prajurit gak berguna ini. Tapi prajurit gak guna ini malah milih ikuti kemauan para Corite. AAHAAARGGKH! Tolong bilang ke gw ini bukan keputusan yang salah!
Si Templar terus berjalan, tanpa tau pergolakan batin yang bergumul dalam hati, sampe pemandangan kacau balau Solus di mata gw terhalang pintu palka pesawat Aliansi.
“We are not war machines, Khortenio. Doesn’t matter how strong, in the end we’re just Bellateans with one heart.” – Rentogarp (Ch. 42)
CHAPTER 57 END.
Next Chapter > Read Chapter 58:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-58/
Previous Chapter > Read Chapter 56:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-56/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Elka adalah anagram dari Lake (ya iyalah). Awalnya saya pengen pake nama “Elka Nordo” doang. Tapi kok kayaknya gak seru, jadilah saya panjangin. Haha. Saya pengen bikin hubungan mereka lebih dekat dari kekasih, lebih dalam dari sahabat, lebih erat dari saudara. Makanya, dua nama yang berasal dari satu kata sepertinya cukup gambarkan apa yang pengen saya utarakan dari hubungan mereka.
Regards,
Mie Rebus.