LAKE CHAPTER 7 – MORNING GLORY

Lake
Penulis: Mie Rebus
Dari semua pemandangan pagi yang terbayang di pikiran, salah satu yang ga terduga adalah yang lagi terjadi sekarang. Jadi ceritanya gw lagi bobo, terus tau-tau kebelet pipis. Yaudah, mau ga mau terbangun biarpun masih capek gara-gara ‘latian’ tadi malam.
Dengan langkah gontai, menuju kamar mandi. Gw buka pintunya, dalam keadaan nyawa masih belum terkumpul. Tiba-tiba, gw liat sepasang kaki. Mulus banget. Betis kencang, paha putih bersih, menantang buat dielus. Penasaran siapa yang punya ini kaki, pandangan gw naik. Menerawang lekuk tubuh nan mungil tapi molek, ciri khas perempuan Bellato.
Busa sabun menari-nari di atas tubuh tanpa busana tersebut. Tubuh bagian atas ga kalah mulus dari kedua kakinya. Dari samping, gw bisa liat otot perut yang jelas terlatih, namun ga sampe jadi kekar terlalu berlebihan. Masih dalam batas proporsional Bellatean wanita. ‘Bemper depannya’ bulat sempurna. Kedua tangan terangkat lagi meratakan shampo ke rambut coklat panjang, bikin ‘senjata pamungkas’ tersebut makin keliatan menggiurkan.
Wew, dibikin nganga pagi-pagi. Ini masih mimpi deh kayanya, antara yakin atau enggak, kenyataan atau bukan, ada bidadari mandi di kamar mandi gw. Tadinya pengen langsung terkam, sebelum pandangan mata naik lagi ke muka manisnya yang kaget gara-gara pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Bola mata coklat itupun menunjukkan kegeraman pas kita beradu pandang.
“GUOBLOOOOOKK!” Teriaknya spontan.
GLEPOK!
“FWWAATT DE FWAAKK?!” Respon gw, ga sempat bereaksi kena fatality.
Pukulan ekstra pedas barusan cukup untuk bikin gw kejengkang beberapa meter ke belakang, dan errr… meninggalkan gw dalam keadaan rahang hampir lepas. Ada asap-asap gitu keluar dari bekas pukulan tadi, kaya di kartun. Anjiiirr perempuan Bellato pada makan apaan sih? Kuat-kuat amat perasaan. Seketika dia langsung banting pintu kamar mandi.
“KALO MAU KE KAMAR MANDI KETOK DULU DONG, GILA!” Lagi, teriakannya terdengar nyaring dari balik pintu.
“LAH?! ELU YANG GILA! NGAPAIN MANDI DI KAMAR MANDI ORANG!?” Balas gw ga kalah kesal gegara anak ini seenaknya aja menerobos wilayah privasi orang. Pake mandi segala pula.
Seketika, pintu kamar mandi terbuka lagi. Perempuan bersurai coklat panjang keluar. Kali ini handuk melilit keseksian tubuhnya. Bulir-bulir air masih tersisa di sekujur tubuh dan menetes dari rambutnya yang tampak basah.
“Mampus gw…” Bisik gw panik, karena dia berdiri sembari memanggul senapan runduk hitam sepanjang 1550 mm kesayangan di bahunya. Pinvlad SVR-3 Lightning Strike, berkaliber 12,7 x 108 mm. “Ehehhe.. Ka, kok lu mandi bawa-bawa gituan sih?” Gw ketawa kecil, berusaha menutupi ketegangan yang tiba-tiba menjalar.
Tatapannya datar ga ada ekspresi, “Buat ratain tukang intip macam lu…” Dia mengarahkan laras senapan ke gw. Yupp, entering devil mode. Daayyum!
ZJJEDDUURR!
Tanpa ragu, jarinya menarik pelatuk. Suara menggelegar bak sambaran petir terdengar sampe ke mana tau.
“WATTAAA!” Dengan reflek dewa, gw menghindar ke samping. “Ajegilee! Beneran ditembak! Wooi! Itu peluru bisa menembus plat baja!” Teriak gw masih dalam ketegangan.
“Bodo…”
Waduuh gawat… harus kabur secepatnya! Kalo lagi begini, ini anak ga bisa diajak negosiasi. Dengan sigap gw langsung ambil langkah seribu keluar dari kamar, cuma pake boxer doang. Bodo dah orang mau kata apa, yang penting bertahan hidup dulu!
“Ahh… oii, mau ke mana luh?!” Ucapnya seketika pas gw ngacir.
Gw melakukan sprint di lorong mesh Ranger, hingga ke ruang santai. Papasan dengan Alecto beberapa meter di depan yang lagi minum kopi sambil baca Log misi di sofa.
“Pagi, Lec!” Sapa gw tanpa berhenti sprint melewati ruang santai.
Alecto sempat cengo sebentar liat kejadian absurd ini, pemuda Bellato bertelanjang dada lagi dikejar pemudi Bellato yang baru abis mandi, handukkan doang.
“… Ngapain lu berdua?” Ga sempat jawab pertanyaannya karena Elka yang lagi ngamuk tepat di belakang gw!
“Jangan lari lu, Bellato kotor!” Pekik Elka antusias (!?)
ZJJEDUUURR!
“Uuggyaaa..” Keberuntungan ada di pihak gw, lagi-lagi entah gimana caranya gw berhasil menghindar.
“Aaahhh.. Pertengkaran Suami-Istri di pagi hari. Betapa romantis..” Alecto berkata, kemudian menyeruput kopinya. Sok-sok bergaya bangsawan yang lagi menikmati sejuk pagi hari. Liat senyumnya bikin gw jijik.
“Diam lo, kampret! Romantis pala lu rengat!” Balas gw dari kejauhan dengan nada tinggi. Haaah… capek deh. Belum hilang pegal-pegal semalam, sekarang dipaksa lari pagi. Dikejar Sniper pula! Setelah dipikir lagi, kok dia selalu bisa nyelonong masuk kamar gw, ya? perasaan tiap malam gw kunci pintu dah.
.
.
-Beberapa menit kemudian-
“Kalo mau numpang mandi, bilang-bilang kek.” Kata gw ngos-ngosan. “Dan kuncilah pintunya! Jadi gw ga perlu meregang nyawa gegara ga sengaja liat lu telanjang!” Abis main kejar-kejaran mengelilingi mesh dengan nyawa sebagai taruhan, kita balik ke titik awal, kamar gw.
“Ya itu sih salah lu juga, sampe nganga. Kan gw jadi takut.” Katanya sambil menyiapkan sarapan yang dia bawa. Kali ini Elka pake tanktop hijau gelap dilengkapi celana kargo panjang. Setelah kejar-kejar gw, tadi dia mandi lagi karena keringat kembali membasahi badannya. Pancuran kamar mandi di kamarnya lagi bermasalah, terpaksa dia mandi di sini.
“Nih, makan dulu. Pasti lapar, kan?” Ia menyodorkan seporsi sarapan yang dibawa. Ternyata ada jatah buat gw juga. Ni anak.. cepat benar berubahnya. Tadi aja napsu banget mengincar gw, sekarang tanpa beban dia kasih makanan.
Tangan gw menjulur terima tawarannya, dengan tatapan menyipit akibat tingkah laku si perempuan berambut coklat panjang yang dibiarkan tergerai.
“Apa-apaan tuh mata?” Tanyanya pas liat tatapan penuh curiga. “Minta dicolok?!”
“Ah, ga. Ga apa-apa.” Balas gw.
Selagi gw menyantap sarapan, masih dalam keadaan sama kaya tadi- pake boxer doang, Alecto berdiri di depan pintu kamar gw yang sedikit terbuka.
“Ciailaah.. asik ya, abis berantem langsung sarapan berduaan.” Ledeknya setelah liat aksi gw dan Elka barusan. Cangkir kopi yang belum abis masih ada di genggamannya. “Jadi pengen dimasakin sarapan juga deh. Hahaha.”
Masih mengunyah, gw balas kata-katanya, “Bwawwel wlu ah, uwe ampheur mathieu gila.” Ga gitu jelas gw ngomong apa dengan mulut penuh. Intinya, dia mengerti.
“Ih, lapar nih gw.” Doi ngasih kode, mau minta gitu deh. tapi gw ga ada niat kasih jatah ke dia. Pura-pura ga dengar ah. Gw sendiri kurang segini.
“Alec mau?” Suara Elka bertanya. Yaaah, Ka. Ga usah di kasih dia mah! “Nih, gw ga abis. Makan aja.”
“Wahhaa.. serius?” Elka menjawab dengan anggukan kepala. “Uhuuy, makasih ye. Baik banget sih lu. Ga kaya si itu tuh.. yang berlaga budek.” Si kamprett, pake nyindir gw segala. Melirik-lirik pula. Bodo amat, gw terus aja mengunyah.
Elka tertawa kecil. “Gimana di Intel? asik-asik ga orangnya?” Tanyanya pada Alecto.
“Yah, gimana ya…” Alecto keliatan mikir sebentar. “Kebanyakan dari mereka terlalu serius sih.” Lanjutnya diikuti suapan pertama dari makanan pemberian Elka.
“Mungkin karena intel memegang peranan vital.” Sanggah Elka.
“Mungkin. Gw kangen kumpul bareng lu pada.” Pernyataan Alecto bikin sendok yang lagi gw arahkan ke mulut berhenti di tengah-tengah. Biarpun Alecto seringkali bikin gw kesal dan ngajak berantem, tapi harus diakui. Dialah satu-satunya orang yang dekat dengan gw selain Elka.
Dia ga peduli masa lalu gw, perlakukan gw sebagaimana layaknya Bellato normal. Dia ga takut akan embel-embel Grymnystre di belakang nama gw. “Yaiyalah, lu lembek begini, apa yang perlu ditakutkan?” Itulah yang dibilangnya pas awal-awal pertemanan kita.
Entah sadar atau enggak, ada sedikit perasaan kangen juga sih sama masa-masa akademi. Di mana kita biasa hunt bertiga, menyelesaikan misi bertiga, melakukan tindakan-tindakan absurd bertiga. Kebanyakan, gw dan dia sih… Elka biasa cuman numpang ngakak doang. Salah satunya melibatkan gw dan kencing Lunker.
Setelah lulus, kita mulai disibukkan kegiatan masing-masing. Bahkan, kita seringkali dapat panggilan tugas berbeda. Tapi biarpun begitu, kalo senggang sedikit, Elka sering nyamperin gw atau sebaliknya.
Jatah gw udah tinggal sesuap terakhir. Tenggakkan soda kaleng yang tadi gw ambil dari kulkas menandakan selesainya sarapan. “Lu ngapain aja sih di Intel?” Gw kepo.
“Ra-ha-si-a…” Jawabnya sebelum menelan makanan di mulutnya.
“Beuh, gaya.”
“Lah serius. Intelijen erat kaitannya dengan anker, rahasia, misterius, tertutup…” Alecto berusaha jelaskan sungguh-sungguh. Tapi, mukanya ga meyakinkan. Kesannya pamer amat. “Prajurit Badan Intelijen Pusat dilarang keras membocorkan kegiatan yang sudah, sedang, maupun yang akan dilakukan pada siapapun tak terkecuali kerabat dekat. Kerahasiaan adalah napas Intelijen.” Jelasnya, mengutip tulisan yang dia baca dari Log. Sial, gw pikir itu kata-kata dia sendiri.
“Pasti berat ya jadi Intel… selalu bergerak di balik layar. Berhasil ga dihargai, gagal pasti dimaki. Matipun ga dikenang.” Kalimat Elka bikin suasana jadi hening seketika. Alecto yang lagi makan sampe keselek dengarnya.
“Wo-woi, ga perlu disebut bagian matinya laaah.. hehehe.” Alecto mencoba buat suasana ga canggung. “Lu berdua gimana? udah gabung satuan tugas belum?” Gw dan Elka saling pandang, lalu geleng-geleng bareng.
“Lu kan direkomendasikan buat gabung Divisi Artileri, Ka. Ga lu terima?” Tanya Alecto.
“Ogah ah, gw pengen bareng Lake aja. Malas sendirian.” Elka jawab santai
“Dan gw masih bingung mau dibawa kemana karir gw.” Ujar gw.
“…”
Suasana kembali hening. Sebenarnya ada keinginan kecil dari hati untuk gabung Satuan Tugas Gabungan (Join Task Force), agaknya gw pengen mengikuti jejak Ayah… dan Gatan. Tapi, entah ragu apa ini benar-benar hal yang gw pengen? Secara, memutuskan jadi Sentinel pun gara-gara orang lain. Apa gw ga bisa dengar isi hati sendiri? Segitu tersesatnya kah gw?
“Eh, eh… lu mau dengar sesuatu yang rahasia ga?” Tiba-tiba Alecto buka obrolan lagi. Wei, wei, ke mana hilangnya pidato tentang kerahasiaan tadi?
“Katanya kerahasiaan adalah napas Intelijen?! Ga konsisten amat sih.” Gw berdiri dari lantai dan pindah posisi ke bangku putar di deket meja komputer.
Selagi Elka membereskan bekas sarapan kita, Alecto bercerita, “Yeh, ini karena lu pada teman dekat gw. Ingat! Jangan bocorkan ke siapa-siapa! Bisa disate Boss gw nanti!” Bisiknya hati-hati.
“Tau ga? Intelijen dapet info kalo ternyata di Ether, ada jenis batuan baru.” Alec menjelaskan ke kita, dengan berbisik. Benar-benar waspada biar info ini ga luber ke mana-mana. “Saat ini, kita menyebut batu itu Etheron. Semua tentang batu ini masih misterius. Gw belum tau fungsinya apa, letaknya dimana, dan bahkan gw ga tau apa ini cuma khayalan senior-senior gw atau bukan.”
“Haah? Apa-apaan dah?” Respon gw meremehkan, setelah kalimat terakhirnya. “Kalo ga tau ini batu ada apa kaga, terus ngapain juga dipermasalahkan? Lagian, sumber infonya dari mana coba?! Keberadaannya aja masih semu, seenaknya aja udah kasih nama segala.” Kata gw menyanggah pernyataan Alecto yang menurut gw 50-50 keabsahannya.
“Makanya, gw bilang jangan kasih tau siapa-siapa dulu. Sampe sekarang belum ada penyelidikan lebih lanjut. Katanya sih, penemuan ini sempat dijadikan proyek dulu banget. Namun, terbengkalai karena ga kunjung membuahkan hasil. Nah, dalam waktu dekat, ada kemungkinan proyek ini bakal diaktifkan lagi.” Cangkir kopi yang dari tadi ga abis-abis ditenggaknya di sela-sela penjelasan. “Mitosnya sih, Etheron lebih sakti dari Relic.” Lanjutnya.
“Hmm, yang benar?” Elka yang sedari tadi cuma mendengarkan seraya beres-beres mulai buka suara. “Kalo emang Etheron ada, kenapa ga ada satupun dari tiga bangsa yang buka tambang di Ether? Maksud gw, perang yang selama ini berpusat di tambang tengah pastinya bakal pindah ke Ether.”
“Entah, jumlah Etheronnya sedikit banget mungkin? Jadi keberadaannya ga diketahui?” Alecto berspekulasi.
“Bila emang benar adanya, bisa bahaya kalo sampe jatuh ke tangan yang salah.” Kata Elka.
“Itulah tugas kita.. memastikan itu ga akan terjadi.” Raut wajah Alecto berubah serius.
Gw paling malas pikirkan hal yang ga pasti. Jadinya, ga antusias deh. Hello, belum tentu juga batu yang lagi dibahas beneran ada. Gw lebih tertarik pada Ether. Hmm, pulau yang menggantung di langit novus. Pulau yang ditutupi salju abadi. Belum pernah kesana, dan gw lagi menanti kesempatan buat liat kaya apa Ether secara langsung. Dingin? pasti. Wajib bawa jaket lapis 15 kayanya.
“Oh iya, sekali lagi makasih ya makanannya. Maknyuuuss deh Ka.” Katanya pada Elka, lalu menempelkan telunjuk dan jempol tangannya membentuk O.
“Okee sama-sama,” Elka balas nyengir dan menirukan tangan Alecto.
Terus terdengarlah celetukan gw, “Enaklah. Gratis.”
“Hahahaha..” Diapun ketawa dan akhirnya berlalu dari kamar gw.
Dasar, ga ada rubahnya tu anak. Hembusan napas gw berat, lelah akan kejadian pagi ini. Tapi bibir gw meyimpulkan senyum penuh arti. “Teman dekat, ya?”
“Kenapa lu senyum-senyum sendiri?” Eh… lupa masih ada Elka di mari. Sial, ga mau dia tau gw senyum-senyum gegara ucapan Alecto lewat di otak. “Mandi sana! Bulu ketek lu udah nangis-nangis kebauan tuh!” Segumpal handuk lemparannya melayang, membungkus kepala gw.
Bulu ketek nangis kebauan? ya kali. Emang habitat mereka tuh di ketek, ga mungkinlah kalo mereka ga tahan bau ketek gw. Emang sebau itu ya? Gw gosok-gosok ketek kiri pake tangan kanan. Elka lagi tengkurap di kasur, membelakangi gw. Pelan-pelan dari belakang gw dekati, terus pelan-pelan gw tempelkan telapak tangan bekas ketek ke hidungnya.
“Lu makan nih,” ujar gw tersenyum penuh kemenangan.
Setelahnya, gw langsung dichokeslam ke bak mandi.
.
.
Selepas mandi, terus berpakaian yang sewajarnya dan wewangian, gw langsung menuju ke meja komputer buat mengerjakan laporan misi Sette waktu itu. Sementara Elka masih di atas kasur. Kali ini, rambutnya ga lagi tergerai, melainkan dikuncir ponytail kaya biasa. Dia lagi melakukan maintenance persenjataan. Bagian-bagian senapan runduknya berserakan di atas kasur gw. Ga cuma senapan runduk, ada juga pelontar granat yang lagi dibongkar. Diletakkan terpisah dari senapan runduknya, yaitu di lantai. Dan sebilah pedang tipis agak lengkung sepanjang 45 sentimeter serta belati serba guna 20 sentimeter.
Elka emang telaten kalo urusan senjata. Dengan tekun tiap 2-3 hari sekali pasti dibersihkan parts senjatanya. Tiap bagian dibongkar, dan diperiksa tiap inci, ada yang bermasalah ga. Katanya maintenance tuh krusial banget. Senjata yang beroperasi optimal jadi kunci Prajurit buat bertahan hidup.
Beda banget dengan gw.
Gw sih, ga pernah deh kayanya. Alasannya cuma satu, malas. Yah, jangan salahkan gw terlahir dengan sifat super jelek ini. Selama belum rusak, ya pake. Kalo udah rusak, ganti baru. Mungkin itu juga penyebab busur gw patah dengan gampangnya pas lawan Rokai dulu. Ngomong-ngomong, busur yang di inventori gw pun punya Elka sebenarnya.
“Nanti bereskan lagi kasurnya.” Celetuk gw tanpa menengok di sela pengerjaan laporan
“Iyaa, tenang aja.” Jawabnya. Terdengar bunyi senjata lagi dibersihkan di tangannya. “Kapan sih gw ga bereskan kamar lu? Saban hari juga gw yang bersihkan rawa-rawa ini.”
Err… ga perlu disebut rawa-rawa juga! Oke, emang sih suka ‘agak berantakan’, tapi kan belum sampe level rawa-rawa. Mulut gw manyun di depan monitor, tapi Elka ga liat karena gw memunggungi dia
Astaga, baru juga setengah perjalanan mengerjakan laporan, gw udah bosan aja. Menguap jadi pertanda kejenuhan gw. Demmit! Padahal baru mandi tapi udah nguap. Gw tampar-tampar pipi sendiri, berusaha fokus ke tugas yang belum rampung. Tapi, diliat gimana pun, gw ga yakin bisa selesai hari ini.
Tiba-tiba, pipi gw terasa ditempelkan kaleng dingin. Bikin gw tersentak sedikit. Elka ambil soda di kulkas dan kasih ke gw. “Kasian tu pipi, ga salah apa-apa ditampar.” Ujarnya tersenyum tanpa beban.
“Hehehe, biar fokus.” Jawab gw seraya tangan menggapai kaleng yang ditempelkan ke pipi. “Eh, Ka. Temenin gw yuk.” Pinta gw sambil memutar bangku menghadap ke dia yang kembali asik bersihkan senjata.
“Temenin ngapain?” Tanyanya singkat.
“Gw pengen liat laut.” Balas gw antusias. “Lagi jenuh dengan pemandangan yang gini-gini aja.”
Gw lagi pengen banget liat laut, ga jauh di Utara dari Bellato Headquarter ada tebing yang menghadap ke laut. Bagus deh pemandangannya. Ga sengaja waktu masih tahun kedua di akademi, gw menemukan tempat itu. Sampe saat ini, belum ada yang tau letaknya. Karena gw cuma sekali itu doang ke sana. Nah, sekarang mendadak gw pengen ke tempat itu lagi.
“Eh? Terus laporan lu gimana? Gw juga belum beres maintenance nih.” Elka keliatan kebingungan akan ajakan gw.
“Nanti gw kebut deh, udah mau kelar juga lagian.” Tanpa ragu, gw yakin bisa pake SKS (Sistem Kebut Semalam). Hahaha ga cuma sekali dua kali begini. Bahkan, SKS udah jadi nama tengah gw. “Nanti aja lanjut lagi maintenancenya, tinggalkan aja dulu di mari.”
“Hmm..” Dia masih belum yakin mau terima ajakan gw, “Tapi traktir es krim, ya?” Pintanya dengan nada riang. Tsk, banyak maunya.
“Iya, iya…”
Akhir kata, kita mampir dulu ke kedai eskrim Tante Marloc di salah satu sudut Headquarter. Tante Marloc terkenal sebagai pembuat eskrim teryahut di federasi. Eskrim buatannya ga ada obat enaknya, kaya pake narkoba. Nagih.
“Tanteeee!” Seru gw pas nyampe sana. Kebetulan lagi ga begitu rame, asiik. “Mau es vanilla dong, jangan dicampur apa-apa ya! Vanilla aja.” Pesen gw.
“Aku mau Blueberry mint ya, Tante.” Gantian Elka yang mesen.
“Haduuh, semangat-semangat bener sih anak-anak tante… ditunggu yaa~” Tante Marloc selain eskrimnya enak, orangnya ramah banget. Biasanya gw suka teriak-teriak kalo mesen, tapi dia ga pernah marah. Terus, kadang gw suka dikasih porsi ekstra kalo beli di sini. Wehehe.
“Kamu masih ga berubah, ya? Cuma doyan rasa vanilla?” Tanya tante sembari melirik gw. “Dari sekian banyak rasa, tapi kamu pilih cuma vanilla polos.”
“Iya nih tante, lebih enak begitu. Lebih murni gimanaaa gitu.” Bukannya ga doyan rasa yang lain sih, sebenarnya gw cuma ga suka es krim coklat. Bagi gw, es krim coklat merusak rasa. Dan.. err, gw alergi cokelat. Selain itu, doyan-doyan aja. Tapi, eskrim vanilla yang ga dicampur apa-apa, jadi favorit! Karena rasa aslinya tuh jadi jelas terasa. Manisnya, susunya, kelembutannya… uuuhh.
“Nih pesanannya~ jadi 10.000 dalant semua~” setelah bayar, kita beranjak menuju ke tebing itu. Di perjalanan, banyak menjumpai kadet-kadet baru akademi yang lagi sparing. Ada juga yang lagi berburu momon. Sambil menjilat eskrim masing-masing, gw dan Elka berbincang dan bercanda, bernostalgia dengan masa-masa di akademi dulu.
“Naaah! Sampee!” Seru gw setelah 45 menit kita jalan kaki. Jalan di belakang kita agak nanjak, jadi lumayanlah ngos-ngosan.
“Woow…” Elka terhenyak, liat pemandangan yang ada di depannya. Lautan biru membentang sejauh mata memandang. Garis cakrawala begitu jelas keliatan jadi pemisah antara langit dan lautan. Desiran ombak dan angin sepoi jadi bumbu pelengkap di tengah terik mentari siang. “Bagus banget. Jahat ya lu, merahasiakan tempat sebagus ini.” Kepalan tangan perempuan itu memukul pelan bahu gw.
“Yah, gw aja baru kali ini lagi datang kemari. Sempat lupaa.. hehehe.” berusaha mengelak biar dia merasa baikan. Gw bergerak menuju sebatang pohon rindang ga jauh dari tempat gw berdiri. Lalu, duduk senderan ke batangnya, menghadap ke laut. Ga lama Elka pun mengikuti.
“Kenapa lu bawa gw ke sini?” Elka belum tau maksud dan tujuan gw mengajak dia.
“Ga ada alasan khusus sih, ga pengen ke sini sendirian aja.” Ya, ga ada alasan khusus. Cuma pengen berbagi keindahan alam Novus bersama orang yang paling dekat dengan gw. Mumpung kita masih bisa menghabiskan momen bersama. Tempat sebagus ini, sayang banget kalo cuma gw yang tau. Kalo suatu saat tewas pas perang, seenganya ada yang tau selain gw. “Ironis ya Ka? Planet indah begini, dijadikan medan perang tiada akhir.”
“Hidup kan emang ironis.” Balasnya singkat. Degg! Ucapannya agak mengena di dada. “Hidup itu kejam dan ga kenal ampun. Tapi di saat yang sama, jadi anugerah terindah.” Wew perempuan ini punya kemampuan alami mengucapkan kata-kata bermakna dalam tanpa mikir kayanya.
Elka meluruskan kaki gw, diapun tiduran dan meletakkan kepalanya di atas paha gw. Terus mulai memejamkan mata.
Kedua mata ungu memandang mukanya beberapa saat. Penuh kedamaian. Perempuan inilah yang sekian lama berada di sisi gw. Menghabiskan masa kecil bersama. Gw dan Elka dulu sebatang kara, setelah ditinggal selamanya oleh keluarga masing-masing. Sebelum akhirnya memutuskan untuk saling menjaga satu sama lain, apapun terjadi. Bagi kebanyakan orang, masa kecil adalah masa yang indah. Hal itu ga berlaku buat kita.
Masa-masa itu justru jadi masa terberat dalam hidup. Ga punya siapa-siapa lagi guna bergantung di usia yang teramat belia. Kalo anak-anak lain bisa main bareng keluarga, teman sebaya, atau belajar buat karir mereka, kita bermain dengan nasib. Dan belajar buat bertahan hidup di dunia yang ga kenal ampun. Banyak orang bilang pengen balik ke masa kecil, karena jadi dewasa terlalu banyak beban yang harus diemban.
Tapi, gw bersyukur waktu ga bisa dimundurkan. Karena gw ga akan pernah mau balik ke masa kecil. Terlalu banyak air mata tumpah dari mata coklat gadis ini. Elka yang dulu, ga sekuat Elka sekarang. Dulu dia gadis lemah, sering nangis. Takut akan keadaan di sekeliling yang ga bersahabat pada dirinya. Kadang, suka menangisi keadaan yang jepit kita dari hari ke hari. Hidup di jalanan Bellator ga gampang. Persaingan pun keras soalnya buat makan dari sisaan aja, harus berebut ama gembel-gembel lain.
Dan ga jarang, kita yang notabenenya lebih muda suka ditindas oleh mereka yang lebih senior, lebih tua. Malah ada masa di mana gw dipanggil “Grimm” hasil plesetan nama belakang gw. Perlakuan lingkungan terhadap gw sangat ga wajar cuma gara-gara menyandang nama Grymnystre. Sangking ga wajarnya, ga sudi untuk sekedar ingat kembali.
Kalo gw sih ga apa-apa, tapi jadi masalah kalo mereka mulai menindas Elka. Sebagai anak laki, tentulah gw yang harus maju buat lindungi dia. Kalo ga, siapa lagi? Kerjaannya aja cuma nangis. Kadang, gw bisa melawan, kadang dihajar abis. Gw sih ga peduli, yang penting selama Elka ga kenapa-napa, sakitnya babak belur jadi ga begitu terasa.
Ga begitu ingat sejak kapan dia mulai berubah jadi kuat dan (kadang bisa jadi) mengerikan, maupun alasan di balik perubahannya itu. Mulai deh gantian dia yang melindungi gw kalo gw ada masalah. Haha rada malu juga sih jadi laki yang kerap dilindungi perempuan. Biar dah, yang penting dia udah hampir ga pernah meneteskan air mata kesedihan lagi.
Gw ga mau dia terluka lebih dalam lagi. Bohong kalo gw bilang ga sayang pada Elka, bohong kalo gw bilang ga peduli gimana keadaannya.
Poninya keliatan menutupi sampe ke mata. Gw arahkan tangan ke situ, terus pake dua jari, gw sibakkan poninya kesamping. “Ih nakal, pegang-pegang.” Elka buka sebelah mata yang kanan, pergoki gw mainkan rambutnya.
“E-eh, maap, Ka. Ga maksud ganggu.” Takut dimarahi, gw tarik tangan menjauh. “Tidur lagi deh ya, gw ga bakal ngapa-ngapain.” Mendadak dia cekikikan dengar kata-kata gw. Tangannya meraih tangan gw yang tadi mainkan rambutnya, lalu di arahkan ke pipi.
“Bercanda kok, hihihi,” Wow, dia menunjukkan ekspresi paling imut yang belum pernah gw liat selama ini. “Tangan lu kok hangat banget sih? kaya perempuan aja.” Matanya kembali terpejam, meresap suhu tangan gw di pipinya.
“Mana gw tau, udah dari pabrikan begitu.” Jawab gw asal.
“Jangan-jangan… sebenarnya lu perempuan?!” Ia berceloteh di tengah percobaan tidur siang. “Muka lucu, mata ungu, badan hangat. Dandani dikit, gw yakin ga ada yang tau bedanya.”
“Preeet, sembarangan! Macho gini dibilang perempuan? Sowek mata lu!” Dengar gw sewot malah bikin dia tambah cekikikan sendiri. “Lagian, apa salahnya lelaki bermata ungu?” Lanjut gw nanya.
“Salahlaah! Bikin gw iri!” Pekiknya spontan seraya jari telunjuk dan jempol di kedua tangannya, buka lebar-lebar kelopak mata gw sampe melotot. Gw balas juluran lidah, meletin dia.
“Ga ada niat pendekin rambut?” Tanya gw kemudian, memainkan rambutnya lagi.
“Ini kan mahkota berharga gw…” Jawab Elka terpejam. “Kenapa harus dipendekin?”
“Yaaa… lu kan Sniper, apa ga ganggu pandangan kalo poni lu hampir menutupi mata? terus biar leluasa gerak gitu maksudnya.” Kan kalo lagi bidik sasaran, tau-tau poni menusuk mata, jadi gatal.
“Ga sih, kalo bertugas biasanya gw kuncir. Terus poninya tertahan headband.”
“Hmm gitu ya… tapi kayanya gw pengen liat lu dengan gaya rambut baru.” Kata gw.
“Ga mauuu… weee!” Sekarang gantian dia menjulurkan lidahnya. Dan gw balas dengan mengacak-acak rambutnya. Dia merespon dengan satu uppercut yang bikin gw hentikan aksi barusan.
Aduh, angin laut senantiasa berhembus. Di bawah rindang pohon gini, panas cuaca jadi ga ada pengaruh. Gw pun menguap, berarti kantuk mulai menghampiri. Akhirnya ikut Elka memejamkan mata. Kita terlelap bersama.
“I wonder which is better? Fruits for appetizers, or for desserts? – Gatan (ch4)”
CHAPTER 7 END.
Next Chapter > Read Chapter 8:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-8/
Previous Chapter > Read Chapter 6:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-6/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list