LAKE CHAPTER 8 – DAYDREAM

Lake
Penulis: Mie Rebus
Wew, di mana nih? Saat ini gw kebingungan karena berdiri di tempat berbeda dari yang tadi. Elka hilang dari pangkuan gw. Perasaan… tadi lagi tidur siang di bawah pohon.
Di depan gw terbentang padang rumput luas. Keadaannya agak tandus, bukan padang rumput hijau umumnya. Angin yang berhembus terasa panas. Gw liat ke langit, ada dua matahari di atas sana. Apa ini Novus? Kok mataharinya dua?
Begitu gw menoleh ke belakang, alangkah kagetnya gw liat sejumlah besar pasukan… gabungan dari 3 bangsa yang selama ini saling bunuh. Accretia, Bellato, Cora. Mereka semua baris berdampingan. Ga ada niatan untuk saling melukai, malah keliatan kalo mereka adalah satu kesatuan. Berserker berdampingan dengan templar, dan Striker. Phantom Shadow berdiskusi dengan kamerad Hidden Soldier. Para animus menerima beberapa spell dari Holy Chandra guna meningkatkan daya tempur. MAU Bellato bertindak sebagai pendobrak di depan.
Gw mendekat dari belakang barisan tersebut. Kayanya mereka ga bisa liat gw karena gw melihat satu persatu wajah tegang mereka, dan mereka ga peduli sama sekali. Gw bagai hantu. Ga ada satupun yang gw kenal di sini. Siapa mereka? Apa yang berusaha mereka perangi sampe harus bersatu kesampingkan perbedaan?
Gw melangkah ke depan, penasaran akan apa yang ada di depan pasukan gabungan ini. Di barisan paling depan, 7 sosok Bellato berdiri gagah. Tiga orang diantara mereka wanita. Salah satu dari yang Pria di tengah memegang bendera berlambang Federasi, berkibar ga beraturan tertiup angin.
Ketujuhnya berjubah putih. Petinggi penting Federasi tampaknya. Jauh di depan pasukan tiga bangsa, ada sekumpulan pasukan yang kalah jumlah. Hmm, mungkin itulah lawan yang bakal mereka hadapi.
Sekarang gw berdiri tepat di tengah kedua pihak yang akan berperang sebentar lagi. Gw ga habis pikir, soalnya setelah gw teliti lagi, ternyata lawan pasukan gabungan 3 bangsa itu cebol-cebol! Alias Bellato! Woot!? Ga paham deh dengan keadaan ini. Apa gw yang salah liat? Enggak, mereka jelas Bellato.
Tepat di depan pasukan ada batu besar, di sanalah pemimpin pasukan Bellato tersebut berdiri. Jelas terlihat wajahnya, Pria klimis berambut kuning panjang terhempas angin yang bertiup berlawanan dari arah dia berdiri. Armor suite kelabu tua dengan aksen putih di beberapa titik melindungi tiap jengkal tubuhnya.
Entah siapa dia, ga pernah liat. Gw merasa terancam begitu liat matanya yang semerah darah. Tajam, ganas, keji. Gelisah dan ga pengen berada di sini, tapi pengen liat gimana kelanjutan kejadian ini. Siapa dia? Yang bisa bikin 3 bangsa gabung buat lawan dia?
Gw berpaling ke pasukan 3 bangsa di belakang. Dengan satu gerakan Bellato yang pegang bendera tadi, mereka mulai menerjang maju. Dipimpin tujuh Bellato berjubah putih, diikuti sepasukan MAU guna back-up. Mereka makin dekat ke gw.
Gw tengok lagi ke depan, ke si mata merah. Ga ada rasa takut atau gentar di wajahnya maupun anak-anak buahnya. Malah, seringai menakutkan kini menghias muka ketika melihat pasukan besar tersebut mulai bergerak.
Lalu, terjadilah hal mengejutkan lainnya. Kalo tadi gw dianggap hantu oleh orang-orang lain, si mata merah itu seolah sadar akan kehadiran gw di tengah padang tandus. Ga salah lagi … mata ungu, dan mata merah berisi penuh ambisi bertemu pandang. Keliatan bibirnya bergerak, coba bilang sesuatu.
“Kita punya kekuatan untuk mengubah alam semesta,” begitulah yang gw dengar, atau setidaknya yang kira-kira gw dengar.
“Hah?!” Gw tersentak ga percaya.
Pasukan 3 bangsa menembus tubuh gw dan terus bergerak maju. Akhirnya, benturan ga bisa terhindari antara kedua pasukan tersebut. Gw berada di tengah-tengah mereka. Suara pedang, tombak, kapak, palu dan segala macam senjata tajam beradu dengan perisai atau dengan senjata lain.
Para Animus dikerahkan buat memukul mundur pasukan Bellato, begitu pun Striker, yang masuk ke siege mode, ga henti-hentinya menembakkan peluru-peluru sakti, bumi hanguskan apapun yang coba menghalangi jauh dari belakang. Rentetan peluru dari MAU jadi suara latar utama pertumpahan darah.
Punisher, Templar, dan Berserker mengamuk sejadi-jadinya setelah mesin-mesin metal bermassa teramat besar itu menghancurkan formasi pasukan si mata merah. Membelah tubuh-tubuh mungil yang berusaha menghalangi. Mereka saling bahu-membahu sambil menerima tembakan perlindungan dari Hidden Soldier dan Adventurer di belakang Mereka. Para Holy Chandra yang bertugas jadi penyembuh utama, ga lupa ikut beraksi.
Suara pedang membelah daging, palu meremukkan serta mematahkan tulang, maupun peluru-peluru yang kerap menembus perisai hidup masing-masing pejuang. Padang tandus yang sebelumnya dihiasi kecoklatan, mulai menampilkan merah sebagai warna latar. Darah … kental … mengalir dari tubuh-tubuh yang tercabik tanpa ampun.
Mual rasanya liat bagian-bagian tubuh Bellato atau Cora berterbangan ke sana sini setelah kena sabetan senjata tajam dari lawannya. Kalo Accretia sih bodo dah, berhubung kaleng, jadi ga terlalu miris.
Salah satu potongan kaki berlumur cairan merah segar jatuh entah dari mana, pas banget di depan gw! Anjiiir! Merasa panik, reflek gw mundur dua langkah.
Bukannya ini terlalu berlebihan? Cuma untuk melawan pasukan kecil Bellato yang bahkan dari jumlah udah kalah banyak… ini sih ga butuh waktu lama udah rata.
Dugaan gw salah. Biarpun kalah jumlah, pasukan Bellato balik melawan dengan sengit. Formasi mereka yang tadi diacak-acak dengan cepat terbentuk kembali. Sampe bikin para tukang dobrak garuk-garuk kepala. Langit mendadak berubah merah gelap.
Dari atas, turun meteor raksasa menghantam tepat di tengah pasukan 3 bangsa! Korban berjatuhan dalam jumlah ga sedikit! Hangus, terbakar hidup-hidup, ada yang hancur, ada yang meleleh dilahap panas dari mantra api tingkat tinggi tersebut.
Belum selesai, salah satu Wizard lain dari pasukan si mata merah menghujamkan tongkatnya ke tanah, mengirim retakan sepanjang tanah tempat musuhnya berpijak. Setelah delay kurang dari 3 detik, retakan tadi mengeluarkan ledakan luar biasa! Anehnya, ledakan tadi ga bikin orang di atasnya terpental jauh, justru malah menarik pasukan 3 bangsa mendekat ke retakan. Ledakannya dari luar menuju ke dalam tanah!
Begitu pada kumpul, seorang Berserker, partner Wizard tadi bersenjata Palu raksasa lompat tinggi. Di udara dia salto sekali, mengumpulkan momentum maksimal dan menghantam retakan yang dibuat oleh kawannya!
Ledakan dahsyat tercipta dari impact Palunya! Kali ini, Cora, Accretia, ataupun MAU yang sebelumnya tertarik, jadi terhempas tinggi ke angkasa. Begitu juga tanah di area ledakan berbentuk lingkaran itu. Ikut beterbangan dan kemudian hancur. Meninggalkan kawah berukuran sedang yang lumayan dalam.
Tubuh ga bernyawa bergelimpangan dengan keadaan mengenaskan. Uggh, ada yang bagian atasnya terbelah, yang lain tinggal kepala menggelinding, atau hangus sampe ga bisa dikenali lagi. Bahkan yang gepeng kaya dendeng pun ga ketinggalan.
Besi-besi bagian Accretia pun berserakan. Sekrup dan baut berlumuran pelumas, sisa-sisa launcher kebelah 7. Baru sebentar perang ini, tapi darah, peluh, air mata, oli mesin udah berceceran di mana-mana.
Berbagai pemandangan memilukan tertangkap mata gw. Seorang Cora pria menangis histeris sembari memeluk jenazah Bellato wanita yang sebagian besar tubuh bagian kirinya udah ga ada.
Beberapa meter dari situ, tepatnya di bagian Timur, seonggok besi Accretia ambruk dengan sekujur badannya keluar listrik dan udah ga bertangan. Pun ga ada sinar keluar dari optik matanya pertanda dia udah ga aktip lagi. Dia kehilangan kedua tangan demi melindungi Corite yang mau ditebas oleh Shield Miller musuh.
Namun, usaha Accretia itu sia-sia. Soalnya kepala Si Corite wanita yang mati-matian dilindunginya, ditusuk pedang dari belakang, sampe tembus ke bagian wajahnya oleh Si Shield Miller. Terlalu overpower… gw menutup mulut pake dua tangan, bergidik ngeri. Ke… kejam… Gimana bisa dia melakukan itu dengan tawa sadis!? Maniak!
Di sebelah gw ada MAU Tipe Goliath ga bergerak yang bentar lagi bakalan meledak.
Asap hitam mengebul dari mesinnya. Spadona udah menembus kokpit tempat pilot berada. Kokpitnya terbuka, pilotnya perempuan dalam keadaan sekarat. Kepalanya bocor, dahi berlumuran darahnya sendiri, dari siku menyembul tulang lengan yang menembus kulit putihnya. Perut Si Pilot sedikit tertusuk Spadona tadi. Dia berusaha keluar dari kokpit, tapi tersangkut.
Aahh… pengen menolong dia, tapi apa daya, ga bisa. Tiap gw coba menyentuh dia yang lagi meronta-ronta, tangan ini tembus gitu aja. Untuk menyentuh aja ga bisa, gw ga bisa berbuat apa-apa… selain nonton kejadian mengerikan berikutnya.
Mesin MAU itu meledak sebelum pilotnya menyelamatkan diri. Api sekejap kemudian udah menjalar keseluruhan. Tubuh perempuan itu dimakan si jago merah. Gw bisa dengar jerit penderitaan dari balik selimut api tersebut. Teriakan penuh kesakitan. Batin gw teriris dengarnya. Gw terdiam, terperanjat, ga tau harus ngapain, ga tau harus komen apa. Air mata gw mulai mengalir.
Gi-gila. Beginikah medan perang? Gw yang selama ini belum pernah terjun langsung, merasa ngeri liat pemandangan menyayat nurani di sekitar. Biarpun sedikit, tapi pasukan kecil Bellato itu punya orang-orang mengerikan.
Tujuh Bellato berjubah putih yang memimpin pasukan 3 bangsa langsung menuju ke tempat si mata merah berdiri, berencana mengeroyok dia tujuh lawan satu. Ga gentar, senyum mengerikan si mata merah ga pudar dari wajahnya. Seolah emang udah mengira bakal dikeroyok.
Pertarungan pun terjadi. Demm, walau dikeroyok, si mata merah dengan mudah mengimbangi serangan tujuh lawannya. Gerakannya ga normal, di satu waktu dia ada di depan salah satu lawannya, terus begitu gw berkedip, dia udah berpindah menyabet 2 wanita yang coba menyerang dia dari samping, pake tongkat besi panjang miliknya yang punya gerigi tajam di ujung, membuat kedua wanita itu terluka cukup dalam.
Dari belakang kepala si mata merah, dua Pria Bellato berjubah putih lompat dan berusaha menusukkan tombak dan pedang masing-masing. Kembali, usaha mereka gagal karena pedang dan tombak mereka cuma menembus udara. Si mata merah udah berpindah secepat kilat.
Ilmu apaan tuh? Tanpa ancang-ancang, tanpa diduga dia bisa keluar masuk area serangan seenaknya.
Dia sekarang berdiri di atas mesin raksasa yang mendadak muncul dari dalam tanah, diiringi getaran hebat di tanah. Mesin tersebut berbentuk silinder dan menjulang ke angkasa. Ketujuh Bellato berjubah putih dan pasukan tersisa pun tersentak liat kejadian itu. Sampe bikin mereka berhenti sejenak dari pertarungan.
Si mata merah lalu mengeluarkan sebuah limas segitiga berwarna biru muda, dan coba memasukkan ke slot mesin yang berada di puncak. Ketujuh Bellato ga tinggal diam, mereka berniat menghentikan si mata merah memasukkan limas tersebut. Berserker dan Shield Miller yang udah lebih dulu menerjang, menusukkan pedang dan tombak mereka. Kali ini, serangannya kena! Si mata merah ga bergerak dari tempatnya, pedang menembus perutnya dari depan, tombak menusuk rusuknya dari samping.
Tapi, itu ga menghentikan tangannya untuk memasukkan limas tersebut ke slot mesin. Ga lama setelah tusukan pedang dan tombak, seorang infiltrator wanita berjubah putih menembak tangannya pake senapan runduk dari bawah, dan menghancurkan tangan si mata merah, disusul bola petir yang dilempar kawan Holy Chandranya.
Gw pikir bakal mati, namun ternyata, dia masih sanggup berdiri. Malahan, dia tersenyum penuh kemenangan dengan keadaan tubuh sekarat. Merah di matanya justru makin nyala, makin pekat. Hawa penghancur sama sekali ga menipis. Mesin raksasa ini mulai nyala setelah dimasukkan limas segitiga tadi.
Nampaknya limas tersebut berfungsi sebagai ‘kunci.’
Seketika, sinar kuning menjulang tinggi ke langit. Tinggi banget, seolah bisa mencapai dua matahari yang menyinari pertarungan ini.
E-eh..?! Tunggu… sinar itu… benar-benar menggapai salah satu matahari?! Faak! Satu matahari jadi mengecil perlahan tapi pasti! Semua yang menyaksikan kejadian itu ga percaya apa yang terjadi, termasuk gw.
Makin mengecil, makin mengecil, makin mengecil, akhirnya hi-hilang! Menyisakan satu matahari di atas sana. Mesin ini… bisa menghancurkan matahari… dari jarak sejauh ini?! Astaga! Shite!
Si mata merah tertawa puas atas apa yang diperbuatnya. Bikin ketujuh Bellato berjubah putih makin geram aja padanya. Serentak, ketujuhnya melancarkan serangan. Si mata merah, yang kaya udah ga peduli lagi terhadap apapun, menerima mentah-mentah serangan serempak itu.
Lalu, dia terhempas jatuh dari puncak mesin tersebut. Tujuh Bellato berjubah putih menyaksikan si mata merah terjun bebas. Sebelum Infiltrator wanita menembakkan senjatanya sekuat tenaga ke slot mesin, dan bikin mesin itu bereaksi aneh, memercikkan aliran listrik dan kobaran api. Terus mengeluarkan ledakan maha dahsyat. Para pasukan tersisa yang bertarung di bawah sana langsung berusaha menjauh biar ga kena efek ledakan. Mereka udah ga peduli lagi dengan pertempuran ini, satu-satunya di pikiran mereka adalah gimana cara menyelamatkan diri.
Ga lupa ketujuh Bellato jubah putih mencabut limas segitiga dari mesin raksasa itu bersama-sama. Sangking dahsyatnya ledakan tersebut, radiasinya mengubah partikel-partikel tanah padang rumput tandus di bawah sana jadi berpasir!
Holy deem! Demi celana dalam berjamur yang jarang diganti, gw menyaksikan kejadian luar biasa di sini! Tempat pertempuran ini perlahan berubah jadi gurun pasir! Radiasi dari mesin raksasa ini kian meluas, kian mengubah keadaan tanah tandus jadi pasir lebih jauh lagi. Gw terhenyak, jantung gw berdetak cepat. Bulu kuduk berdiri. Karena gurun ini sama sekali ga asing bagi gw. Ini… Gurun Sette.
.
.
Akibat rasa syok teramat sangat, gw kaget bangun dari tidur. Di depan gw kembali terbentang laut, dan matahari yang kini udah siap terbenam. Keringat mengucur banyak banget gara-gara mimpi barusan. Napas gw berat, lagi-lagi gw mengalami adrenalin rush.
“Hei,” Elka yang kini duduk di sebelah gw lagi memandang matahari terbenam, “mimpi buruk, ya?”
Gw tengok ke arahnya. Liat wajah Sniper menawan yang diterpa kilau jingga matahari sore.
“Kok mata lu sembab gitu? Sedih mimpinya?” tanyanya sambil keluarkan saputangan. Ahh, iya. Mata gw terasa pegal dan berair.
Gw kucek sedikit pake tangan. Benar aja, jari gw basah kena air mata sendiri. Uggh … dada gw terasa sakit, perih, sesak. Hati terasa diiris-iris kalo ingat pemandangan memilukan di mimpi gw tadi. Biar cuma mimpi, tapi itu terlalu nyata. Pecah tangis si pria Cora, jeritan pedih pilot Bellato yang terbakar hidup-hidup… kenapa? Kenapa gw dikasih liat mimpi menyedihkan begitu?
“Mimpi apa sih? Sampe segitunya,” Elka terlihat khawatir, dia beri saputangannya ke gw. Sedari tadi ga satupun pertanyaannya terjawab.
Ga sadar, lebih banyak air mata keluar dari sudut mata gw tanpa bisa tertahan.
Gw mulai sedikit terisak, tapi sekuat tenaga berusaha tahan biar ga makin menjadi. Ga enak banget nangis di depan perempuan. Liat keadaan gw lagi down, ga mikir panjang Elka langsung peluk badan gw yang gemetar.
Dia berbisik di telinga gw, “Hei, hei … lu aman sekarang. Gw di sini buat lu,” bisikkannya sedikit menyejukkan, tapi di satu sisi malah bikin gw tambah pilu.
“Gw takut, Ka … gw takut … gw takut,” berulang kali gw ucapkan sembari balas pelukannya lebih erat. Hangat tubuhnya perlahan merasuki batin penuh kepanikan. Detak jantungnya normal, terasa di dada gw yang lagi deg-degan parah.
Gw takut kalo harus mengalami langsung apa yang terjadi di mimpi gw. Gw takut harus hadapi kematian seorang diri. Gw takut kehilangan orang terpenting dalam hidup, dan terus hidup tanpa punya siapa-siapa.
Di benak gw terbayang wajah orang-orang yang gw kenal. Elka, Alecto, Hash’kafil, Rokai, instruktur Borr, Maximus Gatan … terbakar habis api peperangan yang makin lama makin membara.
Keraguan muncul di hati gw, apa ini hidup yang gw mau? Apa iya gw sanggup angkat senjata, padahal mental gw lebih lemah dari serangga? Kenapa gw terlibat perang ini? Padahal baru dikasih mimpi berdiri di medan perang aja udah mewek.
“Bukannya kita semua takut?” Jawab Elka lembut, “takut itu normal, tandanya lu punya jiwa,” dia berusaha tenangkan gw dengan suaranya.
“No-normal? Apa jadi pengecut yang hindari konflik, tapi memilih gabung militer … itu normal?” Tanya gw terbata-bata.
“Buat gw sih … normal,” jawabnya singkat.
“Cuma … sedikit orang yang gw kenal … tapi, biarpun sedikit, mereka semua baiknya minta ampun ke gw,” lanjut gw masih terisak, “gw takut kalo harus kehilangan mereka. Takut kalo gw harus jadi saksi pas ajal jemput orang-orang itu.”
“Orang-orang itu,” Elka memberi jeda sebentar, “apa mereka kuat?”
“Mungkin,” langsung gw balas tanpa ragu.
“Apa lu pikir, mereka gampang mati?” Pertanyaan lain yang bikin gw mikir, “kalo mereka kuat, lu harus percaya pada mereka, biarpun harus lewati neraka … mereka ga akan mati segampang itu,” perasaan gw masih ga menentu, karena ketakutan masih menghantui, “Kematian udah jadi resiko, kan? Semua yang ada di Planet ini sadar bahwa ketika mereka setuju mengisi form pendaftaran militer, kematian bakal selalu lebih dekat dari urat leher mereka sendiri. Yang bisa mereka lakukan cuma apa yang mereka anggap benar.”
“… Gw … merasa ga mau kenal siapa-siapa kalo ujung-ujungnya berakhir mengenaskan. Lebih baik sendiri … bebas dari rasa takut kehilangan.”
Dia sejenak hembuskan napas, “… Tau ga, dulu lu yang ajari gw … kita selalu butuh seseorang. Saat kita terlalu takut buat hadapi ketakutan, seseorang akan datang membantu kita untuk lawan ketakutan tersebut, baik secara langsung atau ga langsung,” perlahan Elka mengendurkan pelukannya, mendorong lembut tubuh gw, dan menatap halus bola mata ungu, “waktu itu, lu janji akan selalu jadi ‘seseorang’ itu buat gw.”
Bahunya yang terbuka, tempat bertumpu kepala gw terlihat basah oleh air mata. Tapi, dia ga begitu peduli akan hal itu.
Gw tersentak sedikit. Oh iya, teringat akan salah satu janji yang pernah terucap semasa kita kecil. Kilasan memori mendadak tergambar di otak gw, masa ketika gw mengucap janji kepada Elka di depan makam neneknya. Di hari ketika Sang Nenek meninggal.
Kenapa ya? Gw yang dulu sepertinya lebih kuat dari gw yang sekarang. Selalu optimis bahwa semua bakal baik-baik aja. Sepahit apapun hidup ke depan, selalu yakin bisa jaga Elka segenap tenaga. Selalu positip dan ambil tiap kesempatan guna bertahan hidup. Ke manakah hilangnya Lake itu?
“Seumur-umur kita bersama, ini pertama kalinya gw liat lu nangis,” jemarinya mengusap butiran air mata yang tersisa di sudut mata, “lucu ya. Jadi ingat waktu kecil dulu. Pas gw lagi cengeng-cengengnya, lu selalu ada buat bikin gw adem lagi. Eh, sekarang gantian,” dia malah cekikikan sekarang.
Gw udah kembali tenang abis liat tawanya, dengar celotehannya. Napas gw udah teratur lagi. Aliran adrenalin gw balik normal seraya detak jantung turun perlahan. Satu tarikan napas dalam-dalam, gw hirup lewat hidung, dan keluar lewat mulut pelan-pelan. Agar pikiran gw makin tenang.
Gw poles sedikit kepalanya, gegara dari tadi diceramahi pake kata-kata sok bijak … yang menurut gw sesuai fakta.
Dia mengaduh pegangin kepala sendiri.
“Makasih ya,” cengiran kuda jadi pertanda kalo gw udah baikan. Dia pun balas melempar tawa renyah ke gw.
“Ingat ya, gw selalu siap berbagi beban kapanpun,” Elka keliatan lega begitu tau gw udah rada tenang. Raut cemas hilang dari mukanya.
“Iyaa, iyaa. Balik yuk, udah gelap,” ajak gw sambil berdiri. Tangan gw terulur, ajak dia berdiri juga. Telapak halusnya menyambut gw.
Kita pun balik ke Headquarter, saling bergandengan.
Abis mengantar Elka ke kamarnya, gw ga langsung balik ke kamar. Melainkan, belok ke kediaman seorang Wakil Archon yang gw kenal. Gw berdiri di depan pintu rumahnya. Bingung, apakah harus mengetuk pintu ini? Karena gw yakin ga ada jalan kembali kalo gw udah melakukannya.
Di sudut hati terdalam, terdapat keinginan buat melatih diri gw biar ga jadi beban. Ga jadi makhluk lemah, dan jadi kuat agar gw sanggup hadapi kematian seorang diri. Ga mau kehilangan sedikit orang super baik di sekeliling gw gara-gara mereka harus menanggung beban yang harusnya jadi tanggung jawab gw.
Perasaan itu mendorong gw untuk mengetuk pintu rumah di depan beberapa kali. Langkah kaki terdengar dari baliknya, lalu membukakan pintu.
“Saya menunggu lho, kamu balik lagi kemari,” sang pemilik rumah tampak ga kaget liat kunjungan dadakan gw, “jadi, baiknya langsung mulai aja, ya?” dia bilang, seraya tersenyum simpul.
“I’m sure eventhough The World turns it’s back against me, as long as you’re here.. you’ll stand by my side and help me to fight back. As long as you don’t forget the promises you spoke years ago, i won’t feel alone – Elka (Ch.5)”
CHAPTER 8 END.
Next Chapter > Read Chapter 9:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-9/
Previous Chapter > Read Chapter 7:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-7/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list