LAKE CHAPTER 9 – THE WAY OF SENTINEL

Lake
Penulis: Mie Rebus
Cuma butuh waktu sehari bagi gw untuk berubah pikiran. Kemarin malam, gw menolak untuk dilatih Gatan karena ternyata cuma dijadikan samsak pas sampe di sini. Sekarang, setelah liat mimpi tadi siang… ga pake banyak protes, gw langsung menghadap lagi malam ini. Tadinya sempat ga enak juga, dan rada bingung apa yang harus gw bilang ke dia kalo gw akan menerima segala macam hal yang bakal diajarkan setelah apa yang gw katakan padanya.
Eh, ternyata Maximus Gatan bilang, dia yakin banget cepat atau lambat gw akan kembali lagi. Ya udah deh, keadaan jadi ga secanggung yang gw bayangkan. Jadi, di sinilah gw. Kembali ke halaman belakang rumahnya. Kembali duduk di atas sebuah kursi, dengan kedua tangan terikat kaya tadi malam. Udah ga banyak tanya karena gw tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pemukulan terhadap anak buah…
Kali ini ga berlangsung berjam-jam seperti sebelumnya, yah paling setengah jam lebih kurang. Gw udah memutuskan untuk ga mempertanyakan kegunaan latian ini, soalnya gw percaya pada Komandan Resimen 1 di hadapan gw. Apa yang dilakukannya pasti berguna suatu saat nanti.
“Wah, wah… dalam sehari udah berubah nih ceritanya?” Tanya Gatan lalu melepas ikatan di pergelangan gw.
“Haha… kok cuma sebentar, Maximus?” Gw balas pertanyaannya dengan pertanyaan lain.
“Oo… mau mukamu ga dikenali lagi?”
“Lho, itu tangan belum remuk?”
“Tau ga berapa biaya rekonstruksi muka?”
“Pffftt.. ahaha..” Kita ketawa bareng setelah saling ledek dengan saling lempar pertanyaan. Mengingatkan kita pas pertama kali ketemu di Sette lebih dari seminggu lalu.
Padahal sebenarnya sih ga lucu-lucu banget, tapi entah kenapa bisa bikin gw ketawa lepas. Mungkin karena dia juga kali ya, liat kelakuannya yang kurang kerjaan meladeni.
Taburan bintang menghias langit Novus, bisa terefleksi jelas di pupil gw. Indah, malam ini kedua bulan yang mengitari Novus berada pada fase purnama. Bulan yang satu menampilkan kuning kusam sebagai warnanya, sedangkan satu lagi memancarkan cahaya ungu pudar.
Setelah istirahat, di bawah langit Novus nan indah, latihan gw yang sesungguhnya bersama Sang Wakil Archon pun dimulai. Gw berhadapan dengannya, sambil memegang Twin Razer Blade. Kedua pedang di tangan gw mengeluarkan sinar biru-merah mencolok di tengah kegelapan.
Maximus Gatan, di depan gw, bermodalkan pedang latihan buat murid akademi di tangan kiri, dan pisau di tangan satunya, dengan panjang berbeda. Pedangnya seukuran dengan Twin Razer Blade, pisaunya berukuran setengah dari itu.
“Sesering apa kamu pake pedang, atau pisau?” Tanyanya
“Pedang sih… ga pernah. Kalo pisau… paling pisau mentega, kalo ga pisau dapur.” Jawaban nyeleneh yang membuat Gatan tepok jidat. “Ga bakal segampang yang gw kira nih.” Mungkin begitu pikirnya. Haha.
“Oke, oke. Ini yang harus kamu tau…” Dia menunjuk gw pake pisaunya, “… pedang dan pisau, ga pernah macet, ga pernah kehabisan peluru. Kadang, kalo udah ahli, mereka gampang disembunyikan.” Dia memainkan pedang dan pisaunya di depan gw, bikin keduanya hilang dari pandangan dengan kelihaian tangan. Weew, keren. Kaya sulap.
“Daaann… mereka sangat berguna pada hampir semua situasi.” Gatan mendekat ke gw, masih dengan senjata yang disembunyikan entah dimana tadi. “Khususnya, pertarungan jarak dekat. Ohhoho, mereka bisa jadi sahabat terbaik.”
“Apa kamu pernah menusuk, atau memotong daging makhluk yang masih bernyawa?” tanya Maximus tiba-tiba.
“Belum… seingat saya sih.”
Dia memegang tangan gw, arahkan pedang dalam genggaman gw ke perutnya sendiri. Adooh, jangan aneh-aneh napa latiannya. Jangan-jangan nanti gw disuruh menusuk dia..
“Kalo gitu, tusuk saya.” Tuh kan benar. Ah elah ada-ada aja sih ini orang!
“Ga perlu ragu. Kalo perlu sekuat tenaga.” Ujarnya santai. Iya, dia sih santai, lah gw panik! Ya kali, nanti gw disalahkan lagi oleh Maximus Izcatzin kalo Gatan sekarat.
“Ta-tapi… nanti kalo anda kenapa-napa gimana?” Dalam ketegangan, gw berusaha menolak, tapi dia tetap memaksa.
“Kenapa-napa kenapa sih? Udah, ga apa. Ayo tusuk!” Tangan gw berusaha menahan sekuat tenaga, eh malah dia makin bersikeras menarik tangan gw. Mata pedang udah nyenggol-nyenggol perutnya.
“Ga, saya ga bisa! Ga bisa!”
“Ya ampun, udah cepetan tusuk!”
“Ga mungkin saya menusuk Wakil Archon, Maximus!”
“Ya udah kalo gitu sebagai Wakil Archonmu, saya perintahkan kamu buat menusuk saya!”
“Waaa… penyalahgunaan jabatan!”
Asli, malah jadi konyol gini ya? Kita malah saling mengadu kuat tarik-tarikan. Gw berusaha menarik tangan sejauh-jauhnya biar pedang gw ga membelah usus Gatan, di lain pihak, dianya pengen banget ditusuk. Malah tarikannya makin kuat.
Setelah beberapa menit, kayanya dia menyerah. Tarikannya perlahan melemah. Pun gw melakukan hal yang sama. Lega terasa dia berhenti maksa-maksa minta ditusuk.
“Banci.” Ucapnya dingin.
“Sa-saya bukan banci! saya cuma menghargai… nyawa! Dan tubuh!” Bantah gw terbata-bata.
“Halah, ganti aja celanamu. Pake rok aja sana.” Apa lagi sekarang?
“…”
“Banci ngapain ikut perang? Menambah lubang kuburan doang.”
“…”
Gatan berusaha provokasi gw, ternyata dia belum menyerah. Gw diam aja, sejauh ini kata-katanya belum bikin emosi naik.
“Rupanya Actassi mati meninggalkan banci.” Deng! Raut wajah gw pelan mulai berubah sedikit geram karena nama Ayah di bawa-bawa.
“…”
“Haaah… Actassi pasti ga tenang di alam sana, liat anaknya ga bernyali. Selalu penuh kebingungan, ga bisa ambil keputusan sendiri, apa-apa takut. Bahkan ga tau apa yang benar-benar dia perjuangkan.” Oke, sekarang gigi gw geretak kuat. Kepala gw mulai panas denger kalimatnya. “Kasian, yah?”
Emosi gw naik, sorot mata gw memicing tajam ke Maximus Gatan. Gw kalap karena seenaknya dia pake nama Ayah buat memancing kemarahan. Dan sialnya, usaha itu berhasil. Tangan gw mendorong kuat, menghujamkan pedang ini ke arah perutnya tanpa ragu. Gw udah ga peduli, toh maunya dia juga kan?
“Mati…” Bisik gw pelan.
Tanpa gw sadari, dia memutar tubuhnya 90 derajat, menghindari tusukan, sekalian menyayat pergelangan tangan gw yang lagi meluncur begitu cepat pake pisau dan pedang yang tersembunyi tadi. Cepat, gw ga bisa bereaksi sama sekali!
“U… uwaaah!” Gw teriak, terasa perih luar biasa di pergelangan tangan kanan. Genggaman tangan gw lepas dari pedang, darah mengucur dari sana. “Aduuuh… tadi itu buat apa, Maximus?!” Dalam keadaan panik, gw berlutut sembari meremas tangan yang tersayat, menekan luka biar darah ga keluar banyak.
“Pelajaran pertama; jangan pernah lengah.” Jawabnya tanpa rasa bersalah seraya memutar pisau di jemari. “Kedua; sebelum melukai, harus tau rasanya dilukai.” Uughh… padahal gw ga suka rasa sakit, “Berdiri!” Perintahnya.
Setelah itu, kita sparing atas perintah Maximus Gatan. Yah, biarpun judulnya sparing, tapi sebenarnya pertarungan ini sepihak banget. Perbedaan skill gw dan dia sangat jauh. Bagai langit dan jurang terdalam Novus.
“AAAKHH!” Dia bergerak dengan gerakan halus, namun mematikan. Mengukir banyak luka di setiap jengkal badan gw. Tangan, kaki, punggung, dada, ga ada yang terlewat. Ga adil! Tiap -tiap serangannya masuk, sedangkan gw sama sekali ga bisa menyentuhnya.
Dengan gampang, dia bisa menghindari semua serangan gw. Ya, semua! Bahkan, dia ga butuh pedang atau pisau di tangannya buat menangkis. Gerakannya… unik. Kaya waktu dia bertarung lawan Isis. Gw udah sering liat Berserker pake pedang, tapi, gerakan Gatan benar-benar beda dari Berserker yang notabenenya murni petarung jarak dekat.
Gimana ya menjelaskannya? Bagai air mengalir mungkin. Keliatan cepat, seolah ga bertenaga, namun sebenarnya bisa berakibat fatal kalo dia serius.
“Saat pake pedang atau pisau, artinya jarak serangmu jadi terbatas. Bertukar sabetan bakal jadi lumrah ketika dua petarung jarak dekat bertemu.” Jelasnya di tengah sparing. Gatan melukai gw tanpa berhenti mengajarkan hal yang perlu gw tau. “Karena itu, kamu perlu belajar mencintai rasa sakit mulai sekarang.”
“Hah.. hahh.. hahh.”
Gw hampir tersungkur gara-gara semua luka di sekujur tubuh. Sepertinya, dia ga melukai gw terlalu dalam. Yah, kalo ini pertarungan sungguhan, gw pasti udah dicincang dari awal. Tapi tetap aja, kehilangan cukup banyak darah lumayan bikin pusing juga.
Sekuat tenaga gw coba buat menahan kesadaran tetap di badan. Tapi, sia-sia. Ditambah semua rasa sakit ini, gw ga kuat dan akhirnya pingsan di tempat. Sentinel berambut spike hitam itu bawa gw ke ruang medis. Di sana, gw dimasukkan ke tabung pemulihan. Itulah yang dikatakan Rokai yang lagi bertugas pas gw tersadar.
.
.
Haripun berganti, latian gw berlanjut tanpa henti. Pokonya tiap hari dibikin hampir mati, terus begitu selesai, masukkan deh ke tabung pemulihan biar besoknya sembuh. Kesokan harinya, disiksa lagi kaya hari sebelumnya. Siklus ini berlanjut selama 2 bulan. Dalam kurun waktu 2 bulan, Gatan menepati janjinya. Berkat teknologi canggih Bellato, luka-luka gw bisa sembuh tanpa meninggalkan bekas cuma dalam waktu semalam.
Pas dia bilang bakal mengajarkan semua yang dia tau, dia benar-benar mengajarkan semua yang dia tau. Tapi, ya gitu deh. Gw cuma bisa menyerap sebagian aja. Ga sanggup cooy rasanya. Tiap malam gw habiskan waktu menyembuhkan diri di ruang medis. Membuat gw sering banget ketemu Rokai di sana.
Sangking seringnya, Rokai sampe bilang, “Lu lagi, lu lagi. Sekarat kok dijadikan hobi.”
Hahaha, lu makan tuh. Tapi ga buruk juga sih. Karena itu gw jadi sesekali berbincang dengan orang yang gw anggap saingan ini tentang satu-dua hal. Bikin gw kenal dirinya yang super belagu lebih jauh. Siapa sangka di balik sifatnya yang keras dan menjurus arogan, ternyata dia pemerhati lingkungan?
Sampe saat ini, gw masih belum tau kenapa Spiritualist sekaliber dirinya, yang menguasai hampir semua mantra Force tanpa cela, memustuskan untuk jadi Holy Chandra. Dia masih enggan kasih tau gw.
“Karena gw jenius. Jenius bebas ngapain aja sesuka hati, kan?” Biasanya itu yang dia bilang ke gw. Faak lu matilah!
Elka dan Alecto udah dengar kabar tentang gw dimentori Wakil Archon.
“Gilee! Yang benar?!” Alecto seolah ga percaya. “Wah, jarang-jarang Wakil Archon mentorin Prajurit kroco lho. Biasanya mereka cuma mau mendidik Prajurit-Prajurit pilihan!” Sialan lo, ngatain gw kroco segala. Rasanya gw satu diantara sejuta yang kelewat beruntung.
Elka di lain pihak, sekedar senyum penuh arti, “Ciee.” Entah apa maksudnya.
Selama dua bulan, Elka sesekali datang buat mengamati gw dilatih Maximus Gatan di halaman belakang rumahnya. Sering dibawakan makanan, atau minuman buat menambah stamina. Gw sih ga keberatan, cuma yang jadi masalah, metode pelatihan Gatan di mata Elka ga lebih dari penyiksaan. Pas pertama kali, dia datang cuma bawa makanan doang. Mukanya keliatan ceria.
“Wahh, pacarmu cakep banget. Seksi lagi.” Bisik Gatan sebelum mulai latian kala itu.
“Ahaha, dia… bukan pacar saya. Teman dekat aja.” Jawab gw sambil memutar bola mata.
“Ooo… kamu ga doyan perempuan?!”
“HAH!? Sembarangan! Doyanlah!” Seru gw tertahan, biar ga didengar Elka.
“Meeh, buktinya bidadari gitu ga dijadikan pacar. Apa lagi alibimu kalo ga doyan perempuan?” Kita melirik ke Elka sejenak yang keliatan antusias pengen liat kaya apa latian gw.
“U-udahlah! Jadi latian ga sih?!” Cepat gw belokkan topik pembicaraan.
Nah, begitu Elka liat gimana jalannya latian, garis wajahnya pun mulai berubah datar. Tapi, gw yakin dia tuh marah, soalnya terasa hawa pembunuh pekat di udara dan pandangannya fokus ke Sentinel mentor gw ini. Haduh kacau dah. Latian di hari itu ga sampe bikin gw di cemplungin ke tabung pemulihan kaya biasanya. Sepertinya si Komandan sadar ada yang ga beres.
Besokannya datang lagi dia, kali ini bawa persenjataan lengkap. Dia cuma duduk diam, dan perhatikan Si Sentinel senior dari jarak agak jauh. Alamak, ada lagi problema. Gimana gw bisa latian kalo gini?
Maximus Gatan kasih isyarat tangan ke gw buat mendekat.
“Kok saya merasa terancam, ya? Suruh pacarmu pulang dong.” Hah? Yakali, Wakil Archon takut pada Elka? Ebuseet… segitu seramnya kah dia? Ah bercanda.
Akhirnya, setelah lama gw bujuk-bujuk dan gw yakinkan kalo ga bakal kenapa-napa, kalo semua ini demi kebaikan gw juga, dia mau mendengarkan dan memilih percaya pada gw, dan pulang. Tapi sebelum pulang, dia menunjuk kedua matanya sendiri dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, kemudian langsung diarahkan ke Maximus Gatan.
“A-ahahahaha…” Si Komandan Resimen 1 cuma ketawa setengah tegang dapat tanda, “Gw mengawasi lu” Dari Elka tanpa sepatah katapun.
.
.
Lama-lama terbiasa juga dengan metode latian Gatan. Toleransi gw terhadap rasa sakit, jadi lebih tinggi dari sebelumnya. Rasa pedang menyayat daging dan darah mengalir dari tiap gores luka hasil pahatan seorang Sentinel berpangkat Maximus udah jadi makanan pokok sehari-hari.
Setiap hari gw memperhatikan gerakan Gatan secara seksama. Beberapa kali sempat coba mempraktekkan. Hasilnya ga begitu baik. Ga segampang keliatannya. Malah kaki gw keseleo sekian kali, gara-gara salah pijak lah, keserimpet sendiri lah.
Dia bilang, gw harus sering-sering melatih kelincahan kaki. Ekspresi terkejut terlintas di wajahnya pas mengurut kaki gw yang keseleo, “Kakimu kuat banget, sayang terlalu kaku.” Katanya.
“WADOOOOHHH!” diselingi teriakan histeris gw. Karena diurut tuh sakitnya minta ampun.
Dia selalu mengajari gw sambil dipraktekkan. Bentuk latiannya tiap hari dengan sparing, di tengah sparing itu terselip beberapa teori. Adapun hal yang gw pelajari salah satunya: cara-cara buat membunuh lawan dengan cepat.
“Kamu bisa aja memotong tangan…” Dia menunduk, menghindari sabetan gw, lalu melayangkan pisaunya dari bawah. Pas udah tinggal satu inci jarak antara pisau tersebut dari tangan gw, dia berhenti, “… atau kaki…” Kali ini pedang yang di tangan satunya diarahkan ke kaki gw, “… tetap ga ada jaminan bisa bikin lawan menyerah. Mereka bisa aja bangkit dan terus melawan…” dengan memutar cepat, dia udah ada di belakang gw, “… persendian di belakang lutut, dan urat di atas tumit. Iris bagian ini, lawanmu ga bakal bisa berdiri…” Terasa dingin logam menempel di kedua bagian yang disebut barusan, “… selalu incar leher di tiap kesempatan…” pisaunya berpindah menodong leher gw dari belakang. Ga lama, dia pindah lagi ke hadapan gw, dan bersiap menusuk pake pedang di tangannya. Ujung pedangnya udah menyentuh kulit dada gw. “… tusukan paling efektif, ya ke jantung.”
Semua gerakan tadi dilakukannya cepat sekali. Bikin gw ga bisa berbuat apapun selain mendengarkan dan melihat pergerakannya. Ini sih bukan membunuh lawan dengan cepat, tapi matiin pelan-pelaaan. Selain itu, katanya dia paling suka gerakan menusuk bahu lawan dari atas secara diagonal. Karena, seringnya lawan ga bakal menyangka bakal diincar bagian itu.
Di samping melatih gw dengan serius, Maximus Gatan bisa jadi teman ngobrol yang baik, terlepas dari jabatan Komandan Resimen merangkap Wakil Archon. Pengaruh pembawaannya yang santai dan ga kakulah alasan utama gw ga khawatir untuk jadi diri sendiri di hadapannya.
Ada beberapa pejabat yang sombongnya ga ketulungan. Membuat prajurit kelas bawah kaya gw jadi segan, malah ada yang sampe takut ke mereka. Beda dengan Gatan, dia ga pernah posisikan dirinya sebagai Wakil Archon, melainkan sebagai teman. Bikin gw nyaman dan betah ngobrol lama-lama.
Emang sih, kita selalu pake bahasa formal. Bagi gw ga masalah, hitung-hitung penghormatan atas sikapnya itu. Lagian, ga sopan kan ngomong ke yang lebih tua pake gw-elu? Gw juga ga bisa mengesampingkan fakta, biar gimanapun pangkatnya lebih tinggi. Dan udah jadi kewajiban prajurit untuk selalu tunjukkan rasa hormat pada atasan.
.
.
Suatu hari pas lagi istirahat latian, iseng gw bertanya, “Maximus, kenapa anda memilih pake pedang? Padahal Sentinel awalnya Ranger?”
“Hmm… kamu pernah ga kehabisan panah pas pake busur? Atau kehabisan amunisi pas pake senjata api?” Seperti sebelum-sebelumnya, ia suka sekali balas pertanyaan gw dengan pertanyaan lain terlebih dahulu.
“Pernah… seingat saya sih.” Teringat pertarungan gw lawan Rokai, di mana gw kehabisan anak panah. Tepatnya, kehilangan busur… patah duluan… hahaha.
“Saya juga, pas dikepung musuh pula.” Dia melepas kaos trainingnya, lalu digunakan untuk lap keringat di wajah. “Dan itu ga menyenangkan. Untung saya ga sendiri, masih bisa selamat deh.” Lanjutnya.
“Ranger yang kehabisan peluru sama aja kaya orang-orangan sawah, cuma bisa nonton dari jauh.” Benar juga sih, para Ranger sangat bergantung pada berapa banyak amunisi yang mereka bawa. Bisa aja seorang Ranger bawa segudang amunisi di inventori, namun di lapangan semua bisa terjadi. Ga menutup kemungkinan bakal menghadapi situasi dimana Ranger dituntut buat menghabiskan persediaan amunisi, “Sejak itu, saya sadar. Saya butuh senjata yang ga pake amunisi.” Katanya
“Kalo gitu, kenapa ga daftar ke Warrior Dept aja dari awal? Atau Spiritualist Force?” Tanya gw lagi yang kurang paham akan penjelasannya.
Dia menarik napas sejenak, sekadar atur napas sebelum ngomong panjang lebar, “Pertama; Saya sebenarnya lemah. Ketahanan fisik dan tenaga di bawah rata-rata standar Warrior. Senjata-senjata Warrior terlalu berat bagi saya. Belum-belum, saya yang kecincang duluan nanti.” Jelasnya tanpa keraguan mengungkap kelemahan sendiri, “Kedua; saya ga ada bakat dalam hal-hal berbau spiritual.”
Gw coba berpikir lagi. Jadi, sebenarnya apa kelebihan seorang Sentinel? Tiap-tiap class prajurit pastilah punya karakteristik yang membedakan mereka dari prajurit lain. Sebut aja Berserker, Shield Miller, dan Armsman. Biarpun sama-sama Warrior, tapi gaya bertarung ketiganya beda. Berserker terfokus pada kekuatan serang. Daya hancur para Berserker udah ga perlu diragukan, kerap membabi buta mengacak-acak di bagian depan.
Perisai Shield Miller amat dibutuhkan buat meredam gempuran lawan. Pertahanan Shield Miller Bellato konon sanggup menahan ‘hujan roket’ dari launcher Accretia. Sedangkan Armsman, mereka lebih fokus terhadap gimana cara bikin musuh garuk-garuk kepala di satu area. Tugas Armsman lebih banyak buat mengunci pergerakan banyak lawan sekaligus.
Kalo di Spiritualist, ada Wizard dan Holy Chandra. Bisa dibilang, Wizard adalah Spiritualist penyerang. Force-Force penghancur mereka punya impact luar biasa di pertempuran. Dan bagi yang ga punya bakat menguasai force penghancur, mereka dialihkan jadi Holy Chandra, penyokong pasukan, tim medis.
“Kamu tau? Ga banyak yang berminat memilih Sentinel sebagai jalan karir lho.” Ucap Gatan yang dari tadi liat gw pikirka sesuatu.
“Oh ya? Kenapa gitu?”
“Kita, Sentinel, selalu dalam keadaan tanggung. Sebutan lain buat Sentinel adalah ‘Ranger jarak dekat’. Para Sentinel ga terfokus pada senjata jarak jauh, tapi juga dituntut buat jago pake senjata dekat. Nah, masalahnya, kalo pedang atau pisau, seperti yang kamu bilang, kenapa ga jadi Warrior sekalian? Buat apa jadi Ranger kalo ujung-ujungnya bertarung dari dekat?” Gw dengarkan penjelasannya dengan seksama. Pengen tau lebih banyak tentang Sentinel. “Kekuatan seorang Sentinel ga ada seujung jari dibanding Berserker. Pertahanan pun ga bisa disejajarkan dengan Shield Miller. Kita ini keripik. Sekali getok buyar. Dengan semua itu, Sentinel diharuskan beradu kuat dengan Warrior dari bangsa lain.”
Gleek! Gw mulai menelan ludah dengar penjelasan Gatan. Ya kali, serius nih? Ga yakin bisa menang lawan prajurit yang murni fokus berlatih senjata dekat, ketimbang gw yang setengah-setengah.
“Tapi…” Gatan tersenyum penuh makna, sebelum lanjutkan kalimatnya, “… Sentinel tetaplah Ranger, unggul dalam hal kecepatan dan kelincahan. Ya, jelas kita kalah bila adu kekuatan. Tapi buat apa diadu kalo bisa dihindari? Armor para Sentinel dirancang sedikit beda dari Hidden Soldier atau Infiltrator. Sedikit lebih tebal dan hampir mendekati Berserker, biarpun ga sekeras itu juga sih. Tujuannya, biar perlindungan terhadap tubuh pemakainya maksimal, sementara meningkatkan mobilitas dengan serat-serat khusus yang lebih ringan.” Dia menunjukkan Armor biru gelap kebanggaannya, dan mulai dipakai biar gw tau perbandingannya.
“Oooo.” Gw sedikit berdecak kagum. Armornya terliat keren. Suka banget dengan warna biru gelap yang dominan.
“Tau ga? Croiss ga pernah bisa menyentuh saya setiap kali sparing.” Waah, yang benar? Maximus Croiss, seorang Berserker kenamaan, yang kekuatannya luar biasa… “Ah tapi, dia itu monster. Saya ga sanggup menumbangkan dia. Hahaha.” Lanjutnya lepas. Gw jadi penasaran kaya apa pertarungan dua orang pemegang Komando tertinggi federasi.
“Serangan Sentinel ga begitu kuat. Makanya, di tiap pertarungan, kamu wajib untuk selalu tenang gimanapun kondisinya. Cari titik lemah lawan, hindari kontak langsung sebisa mungkin, cari momentum yang tepat, dan serang titik tersebut dengan segenap kemampuan. Intinya adalah momentum. Kalo momentum yang ditunggu ga kunjung datang, ciptakan aja sendiri. Ingat, itulah cara Sentinel!” Ujarnya panjang lebar. Tangannya terkepal di depan dada penuh semangat. Senyum bangga tersimpul di bibirnya.
“Hahaha. Siap, Maximus!” Balas gw ga kalah semangat.
Momentum, ya? Tergambar di kepala gw kejadian di Sette dulu, ketika Gatan menolong gw yang hampir mati ditikam Isis. Gw berusaha mengingat tiap gerakan, tiap serangan, tiap keputusan yang dibuatnya kala itu, dan membayangkan kalo itulah gimana harusnya seorang Sentinel bertarung.
Kesan pertama yang ga akan mau gw lupakan seumur hidup. Biarpun yang minat jadi Sentinel bisa dihitung pake jari, tapi di mata gw ga kalah keren dengan Prajurit-Prajurit dari class lain.
.
.
5 bulan berlalu tanpa terasa, gw akhirnya beneran jadi Sentinel. Teman-teman seangkatan gw juga udah pada naik pangkat duluan. Sampe sekarang, kayanya baru gw doang yang memilih jadi Sentinel. Ah bodo amat. Gw mau jadi anti-mainstream. Ga lupa berterima kasih sebesar-besarnya buat Wakil Archon, Maximus Gatan Valsynvis atas semua hal yang udah dia ajarkan.
Sedikit banyak ilmu berpedang gw udah meningkat drastis. Yah, biarpun belum jago-jago banget, seengganya ga nol kaya dulu. Belum bisa dibandingkan dengan Sang Wakil Archon. Yaiyalah dia mah latian bertaun-taun. Ga masalah biarpun cuma 5 bulan, yang penting gw paham dasar-dasar dan konsepnya.
Dia bilang, “Kaya bikin bangunan, yang terpenting pondasinya dulu. Kalo pondasi kuat, ke atas-atasnya mah gampang.”
Sebenarnya cuma ada 8 gerakan sederhana yang jadi dasar teknik berpedangnya. Gerakannya gampang, sangking terlalu gampang, gw ga menyangka kalo ini cikal bakal ilmu Gatan.
Tebasan vertikal, horizontal, diagonal, dan mutar. Terus ada tusukan ke tengah, side-steping, back-swing dan kuda-kuda rendah. Kuasai sungguh-sungguh, sisanya terserah gimana gw berkreasi untuk mengembangkan kemampuan.
Pas pelantikan jadi Sentinel, Maximus berambut spike itu hadir menemani. Dia mengacungkan dua jempol dan senyum lebar ke gw, pertanda bangga. Elka dan Alecto, yang duluan dilantik jadi Infiltrator dan Hidden Soldier pun ga luput hadir. Kami sempat foto-foto buat mengenang moment ini, dari gaya formal sampe gaya bebas. Yang paling konyol menurut gw, adalah foto Alecto menggendong gw bak permaisuri di lengannya. Paling konyol, tapi sekaligus jadi favorit gw. Karena semua yang ada di foto tersebut tertawa, pamerkan gigi tanpa dipaksakan.
Dafuq banget emang! Ah ya udahlah. Kapan lagi, sekali seumur hidup lu dilantik. Keliatan Elka masih mendendam pada Gatan, dari tatapan memicing ke arahnya. Alecto berusaha menenangkan dia sebisa mungkin.
“E-ehehehehe.” Seperti biasa, Wakil Archon kita cuma bisa cengengesan panik seraya memegang bagian belakang leher sendiri. Kadang bikin gw bertanya-tanya, ini orang beneran Wakil Archon bukan sih?
Setelah pelantikan berlalu, Gatan memanggil gw ke ruang kerjanya. Yup, ruangan Wakil Archon yang terletak di atas Markas Besar megah ini. Pas gw masuk ke ruangannya, dia ga terlihat di sana. Ternyata, dia lagi di balkon. Ya udah gw hampiri aja.
“Anda memanggil saya, Maximus?” Tanya gw sembari kasih sikap hormat yang langsung dibalas. Dia cuma mengangguk pelan.
“Coba liat pemandangan ini. Menurutmu gimana?” Dia mengajak gw buat ikut mengagumi pemandangan dari balkon ruang kerjanya. Daun-daun di pohon yang bergoyang tertiup angin, langit berawan Novus yang bersih dari segala polusi.
Di bawah, terhampar hijau rumput. Ada beberapa kadet-kadet baru berlatih berburu Flem. Mentari malu menampakan wujudnya dari balik awan.
“Bagus. Sebagaimana mestinya.” Jawab gw singkat.
“Pas kamu udah seumuran saya, pasti bakal bertanya-tanya… apakah sepadan menghabiskan seumur hidup di medan perang?” Ujarnya tanpa mengalihkan mata dari pemandangan. “Liat deh suasana tentram penduduk federasi yang masih polos, pemandangannya, udaranya. Senyum tunas-tunas Bellato, secuil imbalan atas tumpahan darah para prajurit.” Gw cuma bisa terdiam karena ga tau kenapa pembicaraan ini jadi rada sentimentil.
“Makin hari, umur saya bertambah. Pun begitu dengan prajurit Maximus lainnya. Nanti, gantian kamu yang harus melindungi bangsa kita.” Gatan menutup mata, nikmati semilir angin berhembus di wajahnya. Gw sedikit terhenyak dengar kalimatnya. Melindungi bangsa… tanggung jawab yang berat banget.
“Entah, saya sanggup atau enggak. Itu… terdengar lebih cocok untuk orang-orang kuat.” Balas gw ragu-ragu, dan sedikit menunduk.
“SENTINEL, CAPTAIN LAKE GRYMNYSTRE!” Teriaknya mendadak, dan langsung melotot menghadap ke gw.
“SI-SIAP, MAXIMUS!” Kaget tau-tau diteriaki begitu, gw mengambil sikap siap tanpa mikir. Deuh, bisa jantungan nih!
Kedua tangannya memegang pundak gw erat lalu dia berkata, “Kamu itu kuat, jangan biarkan siapapun berkata sebaliknya, termasuk dirimu sendiri.” Dia tersenyum, sorot matanya tegas penuh keyakinan.
“Siap, Maximus,” senyum berbalas senyum. Kepala gw mengangguk mantap. Benar, gw harus percaya kalo gw pun termasuk prajurit kuat! Mentor gw aja yakin, masa gw sendiri enggak?
Gw harus siap menghadapi segala kemungkinan. Tentang mimpi itu, sampe hari ini gw belum cerita ke siapa-siapa. Lebih memilih untuk dipendam jauh dalam hati. Mungkin, kalo saatnya tepat, gw akan tau apa arti dari mimpi itu sendiri. Untuk saat ini, gw lebih fokus ke realitas yang ada di depan mata.
“Those who set out to Novus, must have an ambition, a purpose on their mind which they’ll willingly to die to grab it no matter how. For me, it is a real proof that i’m still alive, still living life full of passion – Hash’kafil (Ch.1)
CHAPTER 9 END.
Next Chapter > Read Chapter 10:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-10/
Previous Chapter > Read Chapter 8:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-8/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list