Last Rhapsody
Penulis: Elwin
Esok paginya, Vinze bangun dan mandi. Lalu dia menyiapkan perlengkapannya, setelah semua masuk terakhir diambilnya surat video itu, sekali lagi dia menekan tombol ‘Etc’ dan mengamati peta. Agak lama dia memperhatikannya, lalu dia mematikan alat tersebut dan dimasukkan ke kantongnya. Dibawanya tas dan tongkat ke ruang tamu, nampak kakeknya sedang menyiapkan makanan. Melihat Vinze, Suiwen menyapanya sambil senyum “Pagi, sebaiknya kamu makan dulu.” Vinze mengangguk, diambilnya kursi dan duduk. Setelah mengamati sebentar makanan yang disiapkan, dia mengambil dan memakannya. Suiwen menuangkan minuman dan memberikannya, sambil mengunyah Vinze berkata “Terima kasih.” Suiwen duduk disampingnya bertanya “Kira-kira berapa lama kamu akan disana?” Vinze meminum sedikit untuk membantu menelan makanannya, lalu dia menjawab “Aku tidak tahu, tapi kurasa paling lama seminggu.”
Setelah kenyang, Vinze memanggul tasnya dan mengambil tongkatnya. Suiwen memberinya sebuah buku bersampul kucel, Vinze menatap buku itu sebentar lalu bertanya “Inikan…?” Suiwen mengangguk “Buku harian ayahmu. Selama ini aku menyimpannya supaya kamu tidak membaca tentang Utopia itu, karena sudah ketahuan jadi kupikir untuk meyerahkannya padamu, tapi aku selalu kelupaan. Aku yakin masih banyak yang ingin kamu ketahui tentang ayahmu bukan?” Vinze menerima buku itu, dibukanya sebentar lalu disimpan buku tersebut ke tas pinggang. Suiwen sambil menyerahkan sebuah buku lagi berkata “Sebaiknya kamu tiru kebiasaan ayahmu, dia selalu membawa buku kosong ketika melakukan perjalanan, jadi dia bisa mencatat semua hal yang penting.” Buku itu bersampul putih, Vinze menerima buku itu dan melihat masih bersih dan tidak ditulis apa-apa. Sambil menyimpan buku itu Vinze berkata “Terima kasih kek.” Suiwen tersenyum membalasnya “Hati-hati dijalan yah. Ingat kalau ada masalah panggil Animusmu, mereka adalah temanmu. Sampaikan salamku untuk Raxion.”
Vinze berjalan keluar dari tempat tinggalnya ke portal. Lalu dia mengakses pilihan koloni Bellato. Sesampainya disana dia langsung berjalan ke tempat tinggal Miriam. Sewaktu Vinze meninggalkan tempat tinggalnya, Miriam belum bangun sama sekali. Ibunya yang melihat jam berteriak kecil ke kamarnya “Miriam, bukankah kamu janjian dengan Vinze berangkat siang? Sekarang sudah hampir siang lho.” Mendengar itu Miriam bangung, tapi masih setengah ngantuk dan mengucek-kucek matanya. Dilihatnya jam dimeja sebelahnya, spontan dia berteriak “KYA!” Langsung dia berlari kekamar mandi dan mandi dengan cepat, disambarnya baju dan perlengkapan yang sudah disiapkannya dan langsung dipakainya. Diambilnya tas dan Hora Bow yang sudah disiapkan semalam, dan setengah berlari ke ruang makan. Setengah berteriak dia mengucapkan salam pada orang tuanya “Pagi bu, pagi yah.” Ayahnya mengerutkan kening menatapnya berkata “Sebenarnya sekarang ini hampir siangkan?” Ibunya sambil tersenyum berkata “Makan dulu, biar kurapikan rambutmu.” Sambil makan Miriam mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba pintu depan diketuk. Ayahnya kedepan untuk melihat siapa, begitu tahu yang mengetuknya adalah Vinze dia membukakan pintunya. Vinze mengucapkan salam “Siang pak.” Ayah Miriam tersenyum membalasnya “Siang Vinze, Miriam sedang bersiap-siap. Sebentar lagi selesai kok, kamu masuk saja dulu.” Vinze menolaknya berkata “Tidak apa-apa, aku tunggu saja disini.” Ayah Miriam membalikkan badannya setengah berteriak dia berkata “Miriam, Vinze sudah datang lho.” Miriam yang mendengar itu menelan makanannya dan minum sedikit. Lalu dia berpamitan dengan ibunya dan memanggul tas serta busurnya. Dia berlari kedepan dan mencium pipi ayahnya sambil pamitan, Vinze juga berpamitan dengan Ayahnya. Sewaktu berjalan ke portal, Vinze melihat Miriam yang masih terengah-rengah bertanya “Apa aku terlalu cepat dari jadwal?” Miriam menggeleng sedikit, diatur nafasnya berkata “Tidak kok, saya yang kesiangan. Semalam kelupaan untuk mengatur alaram.”
Sesampainya di portal, mereka mengakses tujuan ke tambang Crag. Mengikuti Raxion sebelumnya, mereka berjalan ke selatan. Sesampainya di Dataran Tinggi Chilly, mereka bergerak ke timur. Sejauh ini perjalanan mereka cukup mulus, meski ada monster itu bukan halangan bagi mereka. Selama ini kemampuan mereka sudah bertambah, Vinze berhasil menaikkan kekuatan Animusnya menjadi AMY Grade, sedangkan Miriam kemampuannya juga semakin baik dalam memasang jebakan, meski begitu kecorobohan Miriam tidak terlalu berkurang. Ketika malam tiba, mereka memutuskan untuk berkemah karena terlalu berbahaya untuk bergerak di malam hari dan mereka memutuskan untuk berangkat pagi.
Miriam membentangkan kasurnya, Vinze mulai memasak daging kering yang sudah disiapkannya semalam. Setelah matang mereka makan bersama-sama, Miriam tertawa kecil. Vinze yang melihatnya heran bertanya “Kenapa kamu?” Miriam menggeleng sedikit menjawab “Ah tidak, saya cuma ingat pertemuan pertama kita. Waktu itu saya dikejar Hobo dan sampai pingsan, kalianlah yang menolong saya.” Vinze mengangguk berkata “Benar juga yah, rasanya sudah lama sejak kejadian itu. Malam itu kita juga sama seperti ini, berkemah dan mengelilingi api. Sayang hanya kurang Raxion sekarang ini.” Miriam sedikit menunduk berkata “Saya benar-benar bersyukur ada kejadian itu. Berkat itu kita bisa berkumpul dan akrab, menemukan Arcadia, melawan Ozma. Bagi saya itu semua adalah kenangan yang indah.” Vinze menatapnya berkata “Kamu benar, kalau diingat-ingat semua itu sudah lama yah.”
Setelah menghabiskan makanannya, Vinze beristirahat sambil membaca buku harian ayahnya. Miriam yang melihat itu bertanya “Buku apa itu?” “Buku harian ayahku, tadi kakek menyerahkannya padaku. Sebaiknya kamu istirahat, biar kujaga apinya sebentar.” Miriam sambil memeluk kakinya berkata “Tidak apa-apa, aku masih belum ngantuk.”, sebenarnya dia ingin berbincang lebih lama dengan Vinze, tapi dia tidak tahu topik apa yang harus dibicarakannya. Akhirnya dia menyerah dan masuk kekasurnya, dalam hatinya berkata ‘Besok malam kami pasti bisa berbincang-bincang lama, pasti.’ Lalu diapun tidur karena kecapaian, sedangkan Vinze sambil membaca sedikit menatapnya. Melihat wajah imut Miriam yang tidur, dia berkata dalam hati ‘Baik bangun maupun tidur wajahnya benar-benar imut, kenapa yah kadang-kadang aku merasa ingin terus disampingnya? Jangan-jangan aku juga suka padanya?’ Dia menggeleng kepalanya, lalu dilanjut membaca bukunya, hanya saja betul-betul tidak bisa berkosentrasi. Akhirnya dia juga menyerah, dimasukkan bukunya ketas dan ditambahnya kayu keapi, lalu diapun masuk kekasurnya tidur.
Tidak jauh dari Novus dekat planet Wells, keadaan galaksi nampak tenang. Tiba-tiba galaksi seolah-olah tertarik ruangannya, lalu membentuk sebuah corong. Corong itu bersinar terang, didalamnya keluar sebuah pesawat luar angkasa. Pesawat itu tidak begitu besar juga tidak begitu kecil, nampaknya itu pesawat yang mampu menampung sekitar 10-15 orang. Dibadan pesawat itu terdapat sebuah lambang yang unik, berbentuk seperti seekor serangga berwarna hitam dengan warna latarnya biru. Setelah keluar dari lorong cahaya itu, pesawat itu berjalan dengan kecepatan tinggi menjauhi lorong tersebut, meski begitu lorong tersebut belum hilang dan masih bercahaya.
Dalam anjungan, nampak seorang Accretia yang duduk disebuah kursi, yang sepertinya diperuntukkan untuk kapten pesawat. Didepannya berdiri Accretia lain yang memegang kemudi pesawat, disamping kiri dan kanannya masing-masing duduk 2 Accretia lain yang mengamati monitor kecil dihadapan mereka. Salah seorang Accretia dikirinya sambil melihat monitor berkata “Master Jaroocce, kita sudah jauh dari Jembatan Angkasa (Space Bridge).” Jaroocce, Accretia yang duduk dikursi kapten tadi, mengagguk, lalu dia melihat ke kanan dan bertanya pada Accretia yang sedang memantau radar “Apakah ada tanda-tanda pengejar?” Accretia itu mengamati radar, lalu menjawab “Sejauh ini belum ada tanda-tanda dari mereka. Mungkin sudah kehilangan kita.” Jaroocce berkata dengan nada memerintah “Jangan lepas dari radar, tetap awasi dengan baik.” “Siap!”
Pintu belakang Jaroocce terbuka, masuk seorang Accretia. Jaroocce memutar kursinya menghadap Accretia itu bertanya “Bagaimana keadaannya, Inot?” Accretia yang dipanggil Inot itu menjawab “Dia sedang tidur. Padahal waktu itu kita menemukannya dalam keadaan tertidur, masa sampai sekarang masih bisa ngantuk?” Jaroocce menjawab dengan suara berat “Mungkin karena belum terlalu lama bangun, jadi tubuhnya belum terbiasa. Sebaiknya biarkan dia istirahat.” Inot mengangguk menjawab “Aku mengerti.”
Tapi belum Inot melangkah pergi, Accretia yang mengawasi radar tadi mendadak kaget. Dia berteriak melaporkan “MASTER JAROOCCE, ADA SESUATU DIBELAKANG KITA. NAMPAKNYA PARA PENGEJAR MENEMUKAN KITA!” Accretia yang mengawasi Space Bridge tadi juga melaporkan “MASTER JAROOCCE, TERJADI KEANEHAN DI SPACE BRIDGE! SEPERTINYA ADA SESUATU YANG BERUSAHA MEROBEKNYA!” Jaroocce segera memutar kursinya menghadap kedepan, lalu dia memerintahkan Accretia lain yang duduk di kirinya “TAMPILKAN GAMBAR KEADAAN BELAKANG!” Accretia itu menyahut “Baik!” lalu dia menekan beberapa tombol. Didepan mereka muncul sebuah layar besar yang menampakkan keadaan belakang mereka.
Nampak Space Bridge yang tadinya hampir tertutup mulai terbuka lagi, tapi sepertinya dipaksa terbuka oleh sesuatu dari dalam sana. Perlahan namun pasti, sesuatu keluar dari Space Bridge tersebut. Meski tidak tampak semuanya, mereka dapat melihat kalau itu adalah ujung sebuah pesawat luar angkasa yang besar. Pesawat itu masih memaksa dirinya melewati Space Bridge kecil itu, tapi akhirnya tertahan dan hanya bisa memunculkan sebagian depannya. Melihat hal itu mereka sedikit lega, Jaroocce mulai memberi perintah “Sebaiknya kita segera pergi. Linear arahkan pesawat…” Belum selesai berbicara mereka dapat melihat pesawat tadi mulai mengarahkan meriamnya yang ada didepan ke mereka. Melihat hal itu Jaroocce langsung berteriak “TAMBAHKAN KECEPATAN, CEPAT!” Linear yang memegang kemudi pesawat segera menambahkan kecepatan.
Ujung meriam dari pesawat musuh mulai nampak mengumpulkan energi, sedangkan pesawat mereka masih berusaha menjauh degan kecepatan tinggi. Setelah beberapa saat, meriam itu melepaskan tembakan. Accretia pengamat radar tadi langsung melaporkan “SERANGAN DATANG!” Linear memutar kemudinya kekiri dengan cepat, pesawat mereka memutar badannya dengan lambat. Meski begitu serangan tadi tidak berhasil dihindari sepenuhnya, bagian belakang pesawat terserempet tembakannya. Dianjungan mereka berusaha menyeimbangkan diri, karena serangan tadi pesawat mereka bergoyang tidak menentu.
Pesawat musuh yang sudah menembak, nampaknya mulai menarik dirinya. Tidak tahu apakah karena Space Bridgenya yang terlalu kecil memaksa mereka mundur atau karena puas setelah mengira berhasil menghentikan pesawat itu. Linear memutar kemudi kekiri dan kekanan berusaha menyeimbangkan pesawat, setelah beberapa lama akhirnya dia berhasil melakukannya. Jaroocce yang terduduk dilantai sambil memegang kepalanya bertanya pada Accretia yang melihat radar “Musuh?” Accretia itu berusaha duduk kembali dan mengamati radar sekali lagi dengan seksama, lalu melaporkan “Tidak ada tanda-tanda mereka, nampaknya mereka mundur.” Accretia yang satu lagi juga melaporkan “Space Bridge sudah tertutup sepenuhnya, nampaknya mereka sudah menarik pesawatnya dari Space Bridge tersebut.” Jaroocce kembali duduk di kursinya lalu memerintah ke Accretia lain yang duduk disamping pengawas radar “Laporkan kerusakan pesawat!” Accretia itu melihat monitor didepannya, lalu dia menjawab “Bagian mesin kena, mustahil untuk diperbaiki sekarang. Tangki bahan bakar juga kena.” Jaroocce bertanya dengan cemas “Sejauh mana kita bisa berjalan?” Accretia itu sekali lagi mengamati tangkinya dan mencoba memperhitungkannya “Tidak bisa terlalu jauh.” jawabnya.
Jaroocce menatap ke Accretia lain yang duduk disamping pengawas Space Bridge tadi bertanya dengan was was “Planet apa yang paling dekat?” Accretia itu membuka peta galaksi, diamatinya sebentar lalu menjawab “Planet Novus paling dekat dengan kita.” Jaroocce memukul lengan kursinya sambil mengutuk “Sial, disaat seperti ini kenapa malah planet yang paling ingin kita jauhi.” Setelah agak tenang dia memutar kursinya kebelakang untuk melihat Inot yang masih memegang kepalanya “Sebaiknya kamu melihat keadaannya, pastikan dia baik-baik saja.” “Siap!” jawabnya dan dia langsung berbalik meninggalkan anjungan. Setelah memutar kembali kursinya kedepan, Jaroocce memberi perintah “SIAPKAN PENDARATAN DARURAT, KITA AKAN MENDARAT DI NOVUS! USAHAKAN MENDARAT JAUH DARI KOLONI!” Serentak semuanya menjawab “SIAP!” Mereka langsung berkosentrasi untuk mengarahkan pesawat ke Novus.
Di Novus, Miriam dan Vinze bermalam pada hari kedua. Vinze mengamati petanya lalu berkata pada Miriam “Jika tidak ada halangan, seharusnya kita tiba besok siang.” Miriam menjawab dengan semangat “Tidak sabaran nih mau bertemu dengan Raxion. Kira-kira bagaimana dia yah sekarang? Dan seperti apa yah perkemahan Bellato nomaden itu?” Sambil menutup petanya Vinze menjawab dengan nada serius yang dibuat-buat “Yang pasti dia tidak akan berkumis ataupun berjenggot walau sudah bertahun-tahun, karena bagaimanapun dia tidak cocok untuk salah satunya.” Mendengar itu awalnya Miriam menahan tawanya, akhirnya dia dan Vinze tertawa lepas terbahak-bahak.
Miriam melihat langit sambil menghapus air mata yang keluar karena tawa tadi, dilihatnya ada bintang yang bergerak dengan cepat. Ditunjuknya bintang itu sambil berkata pada Vinze “Vinze lihat, bintang jatuh.” Vinze juga mengadahkan kepalanya ke langit, dapat dilihatnya bintang itu jatuh dengan kecepatan tinggi. Sambil termanggu sedikit dia menjawab “Jarang juga nih melihat bintang jatuh di daerah ini, meski sebenarnya di Armory 117 aku sering melihat bintang jatuh.” Miriam mengangguk berkata “Semoga ini pertanda baik.” Vinze menyarankan untuk tidur cepat karena mereka harus berangkat pagi-pagi esoknya. Miriam mengangguk lalu masuk kekasurnya, diikuti Vinze. Beberapa lama kemudian mereka tertidur.
Sementara itu Raxion yang kebetulan juga sedang melihat langit, melihat bintang jatuh itu, tapi entah kenapa dia merasa ada seseorang yang menunggunya. Irene yang duduk disamping kanannya melihat Raxion menatap langit, dia juga ikut mengangkat kepalanya, hanya saja dia terlambat melihat bintang itu. Dia menatap Raxion bertanya “Ada apa?” Raxion sambil tetap menatap langit menjawab “Ada bintang jatuh tadi.” Mendengar itu Magda yang duduk disamping kirinya bertanya “Lalu? Kenapa suaramu terdengar cemas?” Raxion menggeleng sedikit menjawab “Aku juga tidak tahu. Ketika melihat bintang itu rasanya ada yang mengamati dari sana.” Magda memegang tangannya berkata “Tidak usah khawatir, itu cuma bintang jatuh bukan?” Raxion menatapnya berkata “Semoga saja begitu.”
Irene yang melihat Magda memegang tangan Raxion berkata “Magda, lepaskan tanganmu dari Raxion.” Magda tersenyum berkata “Tidak apa-apakan? Toh Cuma tangan.” Mendengar itu Irene sedikit sewot langsung berdiri seolah-olah ingin berhadapan dengan Magda, tapi ditahan oleh Farrell yang berkata “Kak Irene, sopan sedikit dong. Kitakan sedang makan malam bersama, lagipula ada tuan Horad dan yang lainnya melihat.” Sadar akan perkataan adiknya Irene duduk menundukkan kepalanya dengan muka merah karena malu, Horad sedikit tertawa berkata “Tidak apa-apa Farrell, aku senang melihat anak muda yang bersemangat. Kamu juga Raxion, meski tidak bisa makan terima kasih mau menemani kami. Tidak usah cemas dengan bintang itu, jika tidak terlalu besar seharusnya tidak akan membahayakan Novus.” Raxion mengangguk berkata “Kuharap juga begitu.”
Sekali lagi dia melihat langit, lalu dia menggeleng kepalanya dan ikut yang lain berdiskusi dan bercanda tawa.
CHAPTER 2 END.
Next Chapter > Read Chapter 3:
https://www.pejuangnovus.com/rhapsody-chapter-3/
Previous Chapter > Read Chapter 1:
https://www.pejuangnovus.com/rhapsody-chapter-1/
List of Last Rhapsody Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/rhapsody-chapter-list/